Korupsi merupakan kegiatan menyimpang dan menyalahi hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk memuaskan hasrat diri sendiri yang dapat merugikan banyak pihak. Menurut KBBI, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (Perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Graham Brooks mengatakan bahwa korupsi merupakan tindakan dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, tanpa keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi. Korupsi merupakan perilaku yang terjadi di seluruh belahan dunia tanpa terkecuali di negara kita, Indonesia. Di Indonesia sendiri korupsi telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun telah banyak upaya yang dilakukan, mulai dari pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), reformasi birokrasi, sampai Pendidikan Antikorupsi di berbagai institusi pendidikan formal, praktik korupsi masih terus terjadi, bahkan semakin kompleks dan terorganisir. Hal ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tidak cukup hanya melalui pendekatan hukum, tetapi juga membutuhkan perubahan budaya dan kesadaran kolektif masyarakat. Budaya antikorupsi harus menjadi pondasi dalam membangun negara yang adil, bersih, dan berintegritas.
Korupsi: Musuh Bersama yang Menjegal Masa Depan
Korupsi saat ini bukan sekedar pencurian kekayaan/aset negara. Ia juga merupakan tindakan pengkhianatan terhadap negara – amanat rakyat dan keadilan sosial. Ia adalah masalah moral, budaya, dan bahkan ideologi. Kekayaan/aset negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pengembangan pendidikan, kesejahteraan, bahkan kesehatan rakyat justru digunakan hanya untuk kepuasan segelintir orang dan kelompok tertentu. Praktik korupsi tidak lagi hanya terjadi di pusat, namun sudah mengakar ke wilayah daerah – berasal dari pejabat tinggi negara, anggota DPR, hingga kepala daerah. Akibatnya, pelayanan publik semakin buruk, ketimpangan sosial meningkat, dan tingkat kepercayaan rakyat terhadap pejabat dan institusi negara menurun. Berdasarkan data dari Transparency International, indeks persepsi korupsi Indonesia masih berada di bawah rata-rata indeks dunia, namun berdasarkan data dari Indikator Politik menyebutkan bahwa persepsi terhadap pemberantasan korupsi, relatif seimbang antara yang menilai positif dan yang menilai negatif. Beberapa waktu belakangan ini kita melihat bahwa terlihat kemajuan dalam pemberantasan korupsi, dapat dilihat dari kasus-kasus besar yang terungkap. Beberapa kasus yang terungkap dan menjadi sorotan publik adalah Kasus Pengadaan Laptop Chromebook; Kasus Dugaan Suap Mantan Pejabat Mahkamah Agung; Kasus Korupsi di Pertamina; Kasus Penangkapan Kepala PN Jakarta Selatan; Kasus Korupsi dan Pencucian Uang PT DUTA PALMA GROUP; dan Kasus Korupsi LPEI.
Budaya Antikorupsi
Budaya antikorupsi tidak bisa dibentuk dengan sekejap mata. Ia harus ditanam sejak dini dan dirawat dalam setiap jenjang kehidupan. Budaya antikorupsi harus diterapkan mulai dari rumah sampai kepada pendidikan formal di institusi pendidikan. Di dalam rumah, anak harus diajarkan bahwa berbuat hal yang tidak sesuai dengan norma bukanlah hal yang dibenarkan, mulai dari hal kecil seperti berbohong atau mencontek di sekolah. Di sekolah juga para guru harus menjadi teladan integritas bagi para murid, bukan justru menormalisasi perihal yang tidak jujur.
Dari anak-anak yang tumbuh dan memasuki dunia kerja, mereka akan membawa nilai-nilai itu ke dalam sistem. Kita bisa bayangkan jika setiap ASN, Polisi, Jaksa, Hakim, Dokter, dan Guru bekerja dengan sikap dan prinsip antikorupsi, maka secara perlahan sistem akan berubah dari dalam. Namun proses ini tidak akan terjadi jika tidak dimulai dan dipelihara sejak dini.
Bagaimana kita bisa berharap siswa jujur ketika mereka melihat bahwa orang yang mencontek justru diberi jabatan? Bagaimana bisa kita meminta mahasiswa menolak suap jika para pejabat publik justru saling menyuap untuk mendapatkan proyek dan mengembalikan dana kampanye politik?
Masyarakat sipil dan media juga memiliki peran strategis dalam menciptakan kontrol sosial terhadap praktik korupsi. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang beperan pada transparansi anggaran dan audit sosial telah membuktikan bahwa partisipasi publik bisa menjadi alat untuk mencegah korupsi yang efektif. Hal seperti itu juga bisa terjadi pada media, baik media arus utama maupun media sosial, memiliki kekuatan untuk membentuk opini publik, menekankan penegakan hukum, dan memberi ruang pada korban atau whistleblower. Namun, dampak negatif nya adalah media juga dapat dijadikan alat propaganda jika tidak independen. Oleh karena nya, penting memastikan kebebasan pers tetap terjaga agar kontrol publik terhadap kekuasaan tetap hidup.
Apa yang Bisa Dilakukan
Membentuk budaya antikorupsi tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak. Budaya antikorupsi adalah tanggungjawab bersama. Hal yang dapat kita lakukan untuk membangun budaya antikorupsi adalah.
Perang Panjang yang Harus Dimenangkan
Memberantas korupsi merupakan perjuangan jangka panjang yang membutuhkan keteguhan moral, keberanian publik, dan peran bersama. Ini bukan soal menang atau kalah dalam satu atau dua kasus, tapi soal mengubah cara berpikir dan cara hidup masyarakat. Jika kita menyerah, maka korupsi akan terus menelan masa depan generasi berikutnya. Kita mungkin tidak bisa memberantas korupsi secara total, tetapi bisa memperkecil ruang geraknya.
#AkasaraAbdimuda