Pagi punya ceritanya tersendiri. Bunyi pintu lift yang bolak-balik terbuka, langkah kaki tiap pegawai yang terburu-buru, saling menyapa “Selamat Pagi” yang kadang bercampur dengan keluhan soal lembur atau macet Jakarta menjadi salah satu hal rutin. Riuh, tapi anehnya justru terasa akrab.
Sinar matahari biasanya masuk sedikit lewat celah tirai, membuat ruangan berdinding tembok putih terasa lebih rapi. Aku duduk di meja mungil, menyalakan laptop, dan layar pun berkedip pelan sebelum banjir notifikasi muncul satu per satu dengan pemandangan tumpukan dokumen—seolah-olah memang sengaja menunggu sejak semalam.
Tak lama, dari pengeras suara terdengar lagu mars instansi. Nadanya selalu khidmat, membuat setiap orang yang mendengarkannya otomatis berhenti sejenak. Di momen itu aku kembali teringat: dulu aku pernah berjanji sederhana, bahwa bekerja di sini bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk pelayanan.
Terkadang, aku bergumam dan bertanya, “apakah aku masih setia menjunjung tinggi makna di balik semua ini, atau cuma jalanin rutinitas?” Aku masih ingat jelas alasan dulu mendaftar sebagai aparatur sipil. Bukan soal seragam, bukan juga soal status. Aku cuma ingin menjadi bagian dari perubahan.
Masa-masa pendidikan latsar secara tidak langsung membuka lembar baru bagiku. Aku nggak hanya belajar tentang aturan, tapi juga ditanamkan nilai: akuntabilitas, nasionalisme, etika pelayanan, kualitas, dan tentu saja antikorupsi.
Ketika akhirnya ditempatkan di lembaga yang bersentuhan dengan pemberantasan korupsi, bebannya memang terasa lebih berat. Tapi justru di situ juga rasa tanggung jawabku makin kuat. Setiap dokumen yang kuperiksa, setiap laporan yang kususun, rasanya seperti ikut menyumbang tenaga dalam perang panjang melawan penyakit lama bangsa ini: KORUPSI.
Luka yang nggak pernah benar-benar sembuh, hanya berganti wajah dari masa ke masa. Buatku, korupsi bukan sekadar soal uang. Ia lebih seperti penyakit hati—racun yang pelan-pelan mengikis kepercayaan publik dan sering kali aku bertanya pada diri sendiri: apakah aku akan hanyut mengikuti arus, atau bisa menjadi setetes air bersih di tengah air kotor?
Korupsi itu nyata, bukan hanya berita di TV. Ia menyelinap lewat hal-hal kecil: amplop tipis bertuliskan “terima kasih,” bisikan “tolong dibantu biar lancar,” sampai jabatan yang diberikan dengan syarat-syarat tersembunyi.
Aku sudah lihat bagaimana korupsi menampar kehidupan orang-orang kecil. Ibu-ibu yang harus menunggu berjam-jam di puskesmas karena obat gratis raib entah ke mana. Anak-anak belajar di ruang kelas usang karena dana perbaikan hilang begitu saja. Petani yang terpaksa menjual panen murah karena subsidi pupuk tak pernah sampai ke mereka, dan begitu banyak hal lain.
Di situlah aku merasa tugasku: melindungi hak mereka karena setiap rupiah yang bisa diselamatkan bukan sekadar angka, tapi bisa jadi nasi di meja, atap di atas kepala, atau lampu di kelas pelosok desa.
Kadang aku membayangkan, bagaimana jika sistem benar-benar transparan? Semua pengeluaran otomatis tercatat dan bisa diakses publik, bukan ditumpuk dalam map kertas. Bagaimana jika pelayanan publik dapat dilakukan secara digital, menutup celah-celah pemerasan? Mungkin kedengarannya terlalu idealis atau utopis. Namun, aku percaya selalu ada perubahan di langkah sekecil itupun.
Sistem pelaporan yang aman seperti whistleblower atau pembinaan untuk ASN muda, bukan sekadar menghafal aturan, tapi berani berkata “tidak,” walau sendirian. Ya, orang sering bilang, “Sistemnya sudah terlalu rusak,” atau “Idealisme nggak bakal bertahan lama.” Tapi aku percaya keberanian itu menular. Satu orang yang tetap jujur bisa jadi percikan kecil yang menyalakan orang lain, sampai akhirnya kegelapan nggak lagi bisa bersembunyi.
Aku selalu ingat pepatah lama: satu lilin memang nggak bisa menghapus gelap, tapi bisa menunjukkan jalan. Mungkin memang itu peran kita—jadi cahaya kecil yang menolak padam, sampai cahaya itu cukup kuat untuk menghapus bayangan sepenuhnya.
Harapanku sederhana. Meski arus sering menyeret kita menjauh dari hati nurani, semoga kita selalu dibawa kembali ke akal sehat. Semoga setiap langkah yang kita ambil justru makin dekat ke rakyat. Semoga anak-anak nanti tumbuh di negara yang kata korupsi hanya tinggal di buku sejarah.
Karena pada akhirnya, birokrasi itu bukan cuma soal meja, dokumen, atau aturan. Ia adalah cermin bangsa. Kalau generasi muda memilih untuk berpegang pada integritas, maka cermin itu akan memantulkan Indonesia yang jujur, bersih, dan penuh harapan.
Jadi ketika suatu hari aku kembali menatap layar komputer, dan muncul lagi pertanyaan, “Apakah semua ini benar-benar soal pelayanan?”—aku ingin bisa menjawab dengan mantap: Iya, ini semua tentang pelayanan, dengan hati yang tulus dan harapan yang tak pernah bisa dibeli.
#AksaraAbdimuda