Kalau dulu orang bilang birokrasi itu berbelit-belit, sekarang sudah naik level. Bukan lagi sekadar berbelit, tapi sudah mirip marketplace. Lengkap dengan promo, diskon, dan tentu saja cash back. Bedanya, kalau di marketplace kita dapat kembalian duit belanja untuk dipakai lagi, di birokrasi kembalinya bisa masuk kantong pribadi.
Fenomena cash back ini jadi anomali unik di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Dari pengadaan barang sampai perjalanan dinas, istilah cash back pelan-pelan jadi bahasa gaul yang menggantikan kata “bonus”. Padahal kalau diteliti, bonus macam apa yang diberikan bukan oleh atasan, bukan oleh negara, melainkan oleh vendor yang “paham situasi”?
Ceritanya sederhana. Ada proyek pengadaan barang: seragam dinas, laptop, atau bahkan sekadar ATK. Vendor masuk dengan harga resmi, sudah termasuk keuntungan. Nah, di balik itu ada “kewajiban tak tertulis” untuk memberikan cash back kepada pejabat atau staf yang mengurus. Angkanya bisa macam-macam, mulai dari sekadar pulsa sampai cicilan motor.
Praktik ini berjalan mulus, sebab semua pihak merasa “diuntungkan”. Vendor tetap dapat proyek, ASN dapat cash back, sementara laporan kegiatan tetap mulus masuk ke bendahara. Siapa yang rugi? Ya tentu publik. Harga barang dan jasa sudah pasti lebih mahal dari seharusnya, karena vendor memasukkan biaya cash back ke dalam harga final.
Fenomena ini bahkan jadi bahan guyonan di kalangan ASN: “Eh, beli ini di vendor X saja, cash back-nya lumayan.” Candaan yang membuat dahi rakyat berkerut, tapi bagi mereka dianggap rezeki tambahan yang sah-sah saja.
Kalau dipikir-pikir, logika birokrasi rasa marketplace ini kocak juga. ASN yang mestinya jadi pelayan publik, malah mirip smart shopper di e-commerce. Kalau rakyat biasa rebutan diskon Rp20 ribu untuk deterjen, ASN rebutan cash back jutaan dari pengadaan. Kalau masyarakat menunggu notifikasi “ShopeePay masuk”, ASN menunggu notifikasi “transfer vendor sukses”.
Bedanya, rakyat belanja pakai duit sendiri. ASN belanja pakai duit negara alias duit rakyat. Jadi cash back itu bukan bonus, melainkan perputaran dari pajak yang sudah dibayar rakyat. Ibaratnya, rakyat beli beras, tapi kembalian malah masuk kantong kasir.
Lucunya, ada ASN yang berkilah, “Kan cuma cash back, bukan suap.” Seolah-olah dengan mengganti istilah, praktiknya jadi halal. Padahal, cash back birokrasi ini ya saudara kembar dari gratifikasi. Bedanya, satu sering kita rayakan di aplikasi belanja, yang satu lagi pura-pura kita anggap sepele di kantor pemerintahan.
Celakanya, perilaku ini dianggap lumrah. Tidak ada rasa bersalah, bahkan bisa jadi kebanggaan. ASN yang dapat cash back besar dipandang lihai mengatur jaringan vendor. ASN yang polos, yang nggak mau menerima, malah dicap bodoh atau “nggak ngerti mainan birokrasi”.
Inilah yang membuat fenomena ini berbahaya. Cash back menjelma jadi gratifikasi versi mini, yang justru lebih gampang dibiarkan. Padahal dampaknya jauh lebih besar dari sekadar “uang rokok”. Ia merusak integritas ASN pelan-pelan, menormalisasi praktik gratifikasi, dan menggerus kepercayaan publik.
Kalau dibiarkan, birokrasi bisa benar-benar menjelma marketplace. Bayangkan kalau ada program pemerintah:
“Pengadaan seragam dinas ASN, hemat 50% + cash back 10% untuk pejabat pengadaan.”
“Perjalanan dinas, gratis upgrade hotel bintang empat, plus cash back untuk staf pelaksana.”
Masyarakat yang dengar bisa salah kaprah: “Oh, jadi pajak yang kita bayar juga ada promo cash back-nya, ya?” Sayangnya, rakyat tidak pernah kebagian. Yang ada justru harga kepercayaan publik yang makin mahal.
Ketika ASN sibuk berburu cash back, pelayanan publik jadi terasa seperti promo musiman: kadang bagus, seringnya PHP. Bukan lagi soal memberi layanan terbaik, tapi bagaimana mencari celah agar ada “bonus” dari vendor.
Padahal, birokrasi bukan toko online. ASN digaji dari pajak, bukan dari poin belanja. Jika logika marketplace ini terus dipelihara, jangan heran kalau rakyat semakin sinis: negara dikelola seperti e-commerce, di mana yang penting bukan kualitas pelayanan, tapi seberapa besar kembalian yang bisa dikantongi.
Lebih berbahaya lagi, fenomena cash back ini bisa melahirkan generasi ASN yang pragmatis. ASN baru yang masuk sistem akan cepat belajar: “Kalau mau untung, jangan andalkan gaji, tapi manfaatkan cash back.” Budaya menyimpang pun diwariskan lintas generasi.
Fenomena cash back memang tampak recehan, tapi dampaknya bisa luar biasa besar. Ia menormalisasi perilaku menyimpang di level bawah, yang lama-lama mengakar jadi budaya birokrasi.
Sudah saatnya praktik ini diwaspadai. Badan pengawas internal tidak cukup hanya mengejar kasus korupsi miliaran, tapi juga harus jeli melihat anomali recehan yang merusak integritas sehari-hari. Gratifikasi tidak selalu datang dalam bentuk amplop tebal, kadang hadir dalam bentuk cash back manis yang terasa “legal” karena populer di marketplace.
Birokrasi memang butuh inovasi, tapi jelas bukan inovasi model marketplace begini. ASN harus kembali mengingat: cash back bukan rezeki, melainkan gratifikasi. Kalau tidak, jangan kaget kalau suatu hari rakyat benar-benar menilai: birokrasi Indonesia dijalankan dengan logika e-commerce, bukan dengan semangat melayani publik.