Birokrasi Kertas

Ketika atasan mengetuk meja dan berkata, “kirimkan versi hard copy-nya ya,” seringkali yang dibayangkan pegawai adalah deretan printer yang terus berdengung, lembar-lembar HVS menumpuk, dan satu fakta pahit: banyak dari kertas itu tidak pernah benar-benar dibaca. Keluh-kesah sederhana itu sesungguhnya cermin masalah besar  efisiensi, tata kelola anggaran, hingga kualitas birokrasi yang memengaruhi hidup jutaan rakyat. Tulisan ini mengurai utuh: berapa jumlah kertas yang mungkin terbuang di instansi pemerintah, berapa biayanya dari pajak rakyat, bagaimana posisi Indonesia dalam indeks kualitas birokrasi internasional, akar permasalahan kesejahteraan ASN dan lambatnya layanan publik, serta rekomendasi konkret agar negara tidak terus “membuang kertas  dan masa depan”.

Permintaan untuk “print” dokumen oleh atasan baik untuk rapat, tanda tangan, atau sekadar presentasi bukan cerita lokal semata. Di banyak kantor pemerintahan kebiasaan ini masih hidup karena kombinasi: kebutuhan legal-formal (dokumen basah untuk arsip tertentu), kultur kerja yang menghargai bukti fisik, hingga infrastruktur digital yang belum merata. Padahal transformasi ke arah pelayanan elektronik sudah menjadi kebijakan nasional (Satu Data, E-Government), namun implementasinya berbeda-beda antar instansi. Untuk publik yang ingin mengadu atau mengecek layanan, pemerintah menyediakan kanal pengaduan terpusat (SP4N-LAPOR!) dan portal data terbuka (Satu Data Indonesia) tetapi kemampuan instansi menindaklanjutinya masih fluktuatif.

Di tingkat kebijakan, pemerintah sudah menempatkan digitalisasi sebagai alat pendorong pengurangan cetak: seluruh instansi diwajibkan menyusun Arsitektur dan Peta Rencana SPBE untuk mengintegrasikan layanan elektronik (surat edaran MenPANRB No.18/2022 dan roadmap SPBE), sementara kerangka hukum untuk dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik telah diatur sehingga dokumen digital dapat memiliki kekuatan hukum yang setara dengan dokumen basah (PP No.71/2019 dan ketentuan UU ITE). Untuk target operasional, beberapa badan pusat misalnya BKN menetapkan target capaian layanan manajemen ASN berbasis digital hingga sekitar 90% pada periode penerapan SPBE sebagai tolok ukur internal, dan banyak peta rencana SPBE daerah/pusat mensyaratkan pengurangan proses berbasis kertas sebagai indikator keberhasilan. Dalam hal kepatuhan, pengawasan pelaksanaan NSPK/SPBE masuk dalam mekanisme wasdal nasional (Perpres No.116/2022) dan ASN yang dengan sengaja mengabaikan ketentuan pelaksanaan/ketentuan disiplin dapat dikenai sanksi administratif sesuai ketentuan disiplin PNS (PP No.94/2021 dan turunannya), sehingga kebijakan “paper-minimizing” bukan sekadar himbauan tetapi terikat pada rangka pengaturan, target, pengawasan, dan kemungkinan sanksi administratif bila implementasi diabaikan.

Berapa Banyak Kertas yang “Terbuang”?

Tidak ada statistik resmi nasional yang mencatat berapa lembar kertas yang dibuang setiap tahun di setiap kantor pemerintahan. Oleh karena itu, saya membuat model konservatif untuk memberi gambaran nyata (metode dan asumsi disajikan transparan supaya pembaca awam bisa menilai):

  • total Aparatur Sipil Negara (ASN) PNS + PPPK per akhir 2024 tercatat sekitar 4,7 juta orang (BKN).
  • Harga pasar kertas HVS (1 rim = 500 lembar) berkisar pada Rp40.000-Rp60.000; saya pakai asumsi konservatif Rp50.000/ rim (Rp100 per lembar).

  • rata-rata konsumsi kertas per kapita di Indonesia sekitar 29-32 kg/tahun (seluruh sektor), sementara studi internasional kantor menyebut rata-rata “office worker” bisa menggunakan hingga 10.000 lembar/tahun di negara maju sebagai upper bound.

Kita gunakan tiga skenario penggunaan per ASN per tahun: rendah 500 lembar, sedang 2.000 lembar, tinggi 5.000 lembar. Sumber acuan per-pegawai global dan per-kapita digunakan untuk membingkai rentang realistis.

Asumsi tambahan: dari seluruh cetakan tersebut, sebagian signifikan (saya gunakan angka konservatif 30%) merupakan cetakan yang tidak perlu salinan berlebih, draf yang tak terbaca, atau arsip yang bisa digital. Berdasarkan perhitungan model itu, estimasi “kertas terbuang (unnecessary prints)” di seluruh ASN per tahun adalah sebagai berikut:

  • Skenario rendah (500 lembar/ASN): sekitar 710 juta lembar terbuang  setara 1,420,212 rim  biaya sekitar Rp71 miliar.
  • Skenario sedang (2.000 lembar/ASN): sekitar 2,84 miliar lembar terbuang setara 5,680,849 rim biaya sekitar Rp284 miliar.
  • Skenario tinggi (5,000 lembar/ASN): sekitar 7,10 miliar lembar terbuang  setara 14,202,123 rim  biaya sekitar Rp710 miliar.

Perhitungan lengkap didasarkan pada angka ASN sebesar 4,734,041; harga ream Rp50.000; asumsi 30% print tidak perlu. (Rincian teknis tersedia pada lampiran perhitungan model).

Catatan penting ini sebatas estimasi model, bukan statistik administrasi. Namun bahkan skenario konservatif menunjukkan angka yang tidak kecil puluhan hingga ratusan miliar rupiah yang keluar dari APBN/APBD untuk hal yang sebenarnya bisa diminimalkan. Sumber harga dan parameter konsumsi yang saya pakai tersedia di publik.

 

Secara administrasi pemerintahan, kewajiban mencetak dokumen tidak bersifat arbitrer: dokumen-dokumen yang dianggap wajib tersedia dalam bentuk fisik umumnya adalah yang berkaitan langsung dengan kepastian hukum dan kearsipan permanen misalnya akta otentik, beberapa bentuk kontrak yang menurut aturan pengadaan atau notaris harus dilegalisasi, serta arsip negara yang dikategorikan sebagai arsip statis/aspiratif yang pengelolaannya diatur untuk jangka panjang oleh Undang-Undang Kearsipan (UU No.43/2009).  Sebaliknya, dokumen administratif internal nota dinas, disposisi, surat undangan, laporan harian, bukti penerimaan sementara, dan mayoritas surat tugas secara administratif dapat dan seharusnya diselenggarakan secara elektronik karena Peraturan Presiden tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (Perpres No.95/2018) dan ketentuan penyelenggaraan sistem serta transaksi elektronik (PP No.71/2019) memberi kerangka legal bagi dokumen dan tanda tangan elektronik untuk memiliki kekuatan hukum sepanjang memenuhi persyaratan teknis dan keamanan yang ditetapkan.  Lebih lanjut, arahan teknis bagi instansi agar menyusun arsitektur dan peta rencana SPBE yang menekan penggunaan kertas diatur dalam Surat Edaran MenPANRB No.18/2022 sebagai pedoman administrasi untuk meminimalkan proses berbasis kertas dalam rangka keterpaduan layanan digital.  Dari sisi kepatuhan pegawai: ketentuan disiplin PNS (PP No.94/2021 beserta peraturan pelaksanaannya) memungkinkan penerapan sanksi administratif bila seorang ASN dengan sengaja mengabaikan ketentuan dinas/aturan internal yang telah ditetapkan (mis. kewajiban memakai saluran elektronik untuk proses tertentu), sehingga “kebiasaan mencetak” yang melanggar kebijakan formal bukan hanya soal efisiensi tetapi juga potensi pelanggaran disiplin.  Dengan demikian, sudut pandang administrasi pemerintahan menegaskan: cetak hanya untuk yang memang memerlukan otentisitas atau kewajiban kearsipan fisik; selebihnya harus diarahkan ke SPBE/elektronik sesuai payung hukum yang ada dan instansi bertanggung jawab menyesuaikan aturan kedinasan agar praktik kantor selaras dengan kerangka hukum nasional.

Jika Kertas Adalah Pajak, Berapa Proporsinya dari Anggaran Negara?

Anggaran belanja pegawai memang pos anggaran besar dalam APBN. Nota Keuangan APBN 2025 dan rilisan Kemenkeu menunjukkan belanja pegawai menjadi salah satu porsi utama belanja pemerintah pusat; sejumlah analisis menempatkan alokasi belanja gaji dan tunjangan PNS ratusan triliun rupiah per tahun (angka pagu dan realisasi dipublikasikan periodik oleh Kemenkeu). Dengan skenario pemborosan sebelumnya (Rp71–710 miliar), biaya “kertas terbuang” hanya sebagian kecil (persentase desimal) dari total belanja pegawai  tetapi tetap merupakan pemborosan yang nyata karena bersifat berulang setiap tahun dan bisa dialihkan untuk belanja produktif.

menilai “proporsi” kertas terhadap APBN bukan sekadar soal persentase tetapi soal prioritas anggaran dan akuntabilitas: mengapa kebiasaan cetak berulang-ulang dibiayai publik padahal ada alternatif digital yang tersedia dan kadang lebih murah?

 

Anggaran Pegawai Terbesar, Tapi PNS Tak Sejahtera?

  1. Komposisi belanja pegawai: alokasi yang tampak besar bukan selalu hanya gaji pokok; termasuk tunjangan kinerja, pensiun, biaya pensiunan, dan distribusi antar pusat-daerah yang membuat efek riil kepada kesejahteraan tidak homogen. Ada daerah yang menerima alokasi lebih kecil per pegawai. (Kemenkeu, laporan realisasi).
  2. Biaya hidup dan kebutuhan sosial: kenaikan gaji pokok belum tentu menutup biaya sekolah anak, perumahan, kesehatan, dan inflasi. Kenaikan berkala yang kecil bisa tertelan oleh biaya hidup di perkotaan. Diskusi tentang kenaikan gaji ASN sering muncul tiap tahun tanpa menyelesaikan ketimpangan regional.
  3. Kesenjangan struktural dan insentif: banyak tunjangan dan fasilitas publik tersalur lewat mekanisme yang kurang merata misalnya pengangkatan PPPK vs PNS, pegawai honorer, atau tunjangan yang hanya dinikmati kelompok tertentu. Itu membuat “angka besar” anggaran tidak berujung pada perbaikan kesejahteraan merata. Analisis APBN mengindikasikan alokasi besar namun penyerapan dan manfaatnya tidak selalu proporsional.

Korupsi dan Kebocoran Anggaran: Titik-Titik yang Lebih Mahal daripada Kertas

Kertas yang terbuang mungkin “ternyata murah” jika dibandingkan kerugian akibat korupsi. Laporan KPK dan pemantauan kasus menunjukkan bahwa sektorsektor seperti pengadaan barang dan jasa mendominasi perkara korupsi  dan nominal kerugian negara jauh melebihi biaya kertas. Pada 2024 KPK menindak puluhan hingga ratusan perkara; data tahun ke tahun memperlihatkan kerugian negara dalam jumlah besar yang sebagian hanya pulih sebagian kecilnya. Artinya, meski penghematan kertas bernilai, reformasi pengadaan, transparansi anggaran, dan pencegahan korupsi adalah hal yang harus ditangani bersamaan.

Beberapa faktor membuat pegawai enggan menolak permintaan cetak:

  • Hirarki budaya (power distance): budaya birokrasi yang kuat pada penghormatan otoritas membuat perintah atasan sulit ditolak, meski tidak efisien.
  • Kepastian hukum dan bukti: beberapa proses masih menuntut dokumen fisik untuk tanda tangan atau verifikasi legal (meski banyak yang bisa diganti dengan tanda tangan digital jika ada regulasi dan infrastruktur yang seragam).
  • Sanksi sosial-profesional: takut dianggap tak patuh atau kurang “siap” jika tidak menyediakan hard copy saat rapat penting.
  • Ketidakpastian sistem elektronik: bila pelayanan elektronik belum andal, pegawai memilih aman dengan dokumen fisik agar tidak disalahkan bila sistem digital error.

Perubahan budaya memerlukan kombinasi: kebijakan tegas (mis. dokumen resmi hanya boleh diminta digital kecuali untuk tujuan tertentu), pelatihan, dan regulasi tanda tangan elektronik yang diikuti implementasi teknis. SIASN, SI dan sistem internal lain sudah ada, tetapi penerapan belum merata.

 Birokrasi yang tidak “sat set”

Lambatnya birokrasi bukan satu sebab; ia hasil akumulasi faktor:

  1. Desain proses yang berlapis-lapis: banyak prosedur dibuat untuk “melindungi” dari kesalahan atau korupsi (over-control), namun akhirnya menciptakan bottleneck administratif.
  2. Fragmentasi data dan sistem: instansi belum sepenuhnya terintegrasi  yang membuat kerja lintas-institusi menjadi lambat. (Satu Data sebagai solusi, tapi implementasi masih dalam proses).
  3. Sumber daya manusia dan motivasi: seleksi dan reward belum selalu mempromosikan kinerja; fenomena CPNS yang mengundurkan diri  mengindikasikan masalah retensi dan ekspektasi karir generasi muda.

Fenomena mundurnya pegawai negeri akhir-akhir ini punya pola yang cukup jelas: gelombang pengunduran diri CPNS 2024 mencapai 1.967 orang, menurut data resmi Badan Kepegawaian Negara sebuah angka yang memaksa kita bertanya apakah proses rekrutmen, penempatan, dan sistem karir ASN masih relevan dengan ekspektasi generasi muda.  Penyebabnya penempatan yang jauh dari domisili dan beban relokasi, gaji awal yang dirasa tidak sepadan dengan beban hidup atau ekspektasi (terutama bagi mereka yang berpengalaman di sektor swasta), serta kebijakan optimalisasi formasi yang membuat beberapa posisi berubah atau dibatalkan  semua ini tercatat berulang dalam laporan media dan analisis BKN. Kajian akademik dan laporan lapangan juga menunjukkan bahwa pengunduran diri cenderung terjadi pada kelompok usia produktif (milenial/early career) dan tidak sedikit dari mereka yang menduduki jabatan fungsional muda yang memberi sinyal bahwa aspirasi karir, kesempatan pengembangan, dan fleksibilitas kerja menjadi faktor penentu.

 

Dalam diskursus karier ASN ada dua model yang sering diperdebatkan: jabatan fungsional (spesialis/technical career path) dan jabatan struktural (kepemimpinan/administratif). Secara teori, jabatan fungsional unggul karena menempatkan orang pada kompetensi teknisnya, memungkinkan metrik kinerja lebih objektif dan jalur karir berbasis keahlian; jabatan struktural pada gilirannya memberikan wewenang pengambilan keputusan, jenjang manajerial, dan kemungkinan remunerasi berbasis jabatan. Namun kenyataannya di lapangan sering muncul kontradiksi: fungsional seringkali mengalami jalan karir yang terasa “terbatas” atau lambat kenaikan status dan tunjangan (sehingga menurunkan daya tarik bagi talenta muda), sedangkan struktural kerap dipolitisasi, membuat promosi tidak selalu murni berdasarkan kinerja  kedua kondisi itu sama-sama menjadi alasan kenapa pegawai memilih keluar atau mencari alternatif karir.

  1. Insentif yang salah: bila promosi, remunerasi, atau reward lebih terkait senioritas/politik daripada kinerja, pegawai memiliki sedikit motivasi untuk mempercepat layanan.

Semua faktor ini saling memperkuat: sistem yang lambat memberi ruang korupsi; korupsi menimbulkan kebutuhan kontrol berlebih; kontrol berlebih memperlambat lagi.

ASN masih sering mencetak karena perpaduan tiga alasan praktis dan struktural: pertama, meski hukum sudah mengakui sistem dan tanda tangan elektronik (PP No.71/2019), sejumlah aturan teknis dan praktik birokrasi masih menuntut “asli basah” untuk dokumen tertentu sehingga pegawai merasa aman mencetak ketidakseragaman aturan ini bikin e-signature belum sepenuhnya menggantikan tinta. Kedua, kesiapan digital antar-instansi belum merata; Indeks SPBE nasional memang meningkat tetapi pencapaiannya masih berada pada skala menengah (Indeks SPBE Nasional 2024 = 3,12/5), sehingga banyak unit kerja yang belum percaya sepenuhnya pada alur elektronik dan memilih cetak sebagai cadangan. Ketiga, keterbukaan infrastruktur pun tidak seragam: meskipun penetrasi internet nasional tinggi (sekitar 79% pengguna pada 2023–2024), ada daerah dan unit kerja dengan konektivitas dan sistem internal yang rapuh sehingga pencetakan dianggap lebih andal.  Di level praktik kantor, studi dan survei internasional menunjukkan bahwa porsi cetakan yang dibuat semata untuk tanda tangan mencapai angka signifikan (diperkirakan 37% dari semua cetakan), yang mempertegas bahwa masalah bukan hanya teknologi tetapi juga prosedur tanda tangan dan kebiasaan.  Tambah lagi, konsumsi kertas nasional relatif besar (sekitar 29 kg per kapita per tahun), sehingga rutinitas “minta print” ini berakibat bukan cuma lambatnya proses kerja tetapi juga pemborosan anggaran operasional dan lingkungan.

Bandingkan dengan tetangga yang dinilai “lebih maju” dalam tata kelola: misalnya Singapura sering menempati peringkat atas indeks korupsi dan efektivitas pemerintahan dunia (Transparency, WGI), sementara Indonesia masih tertinggal pada skor persepsi korupsi dan memiliki ruang perbaikan pada efektivitas pemerintahan. Perbedaan utamanya: konsistensi reformasi digital, transparansi pengadaan, sistem merit yang kuat, serta penegakan hukum yang relatif cepat. Singapura dan negara maju di kawasan membangun ekosistem di mana teknologi, regulasi, dan penegakan berjalan serempak  bukan terpisah.

Penutup

Tanggung jawabnya kolektif guna mengatasi isu ini yaitu pelibatan pimpinan lembaga, KemenPANRB, Kemenkeu, BKN, KPK, DPR, serta masyarakat sipil. Rekomendasi berupa:

  1. Atur Arah Kebijakan “Print-Minimum”: Peraturan internal yang membatasi permintaan hard copy kecuali untuk kebutuhan hukum tertentu; dorong tandatangan elektronik yang diakui secara hukum. (Langkah administratif + sosialisasi).
  2. Transparansi Pengadaan & Audit Kertas: audit sederhana: setiap unit wajib melaporkan belanja ATK & kertas triwulanan yang dipublikasi di portal Satu Data  memudahkan pengawasan publik.
  3. Insentif Kinerja dan Reward Digital: libatkan KPI digital (mis. target penggunaan e-document) dalam penilaian kinerja.
  4. Reformasi Pengadaan Barang dan Jasa: perkuat e-procurement, audit forensik rutin, dan sanksi tegas untuk pelanggaran. (KPK data menunjukkan pengadaan sebagai hotspot korupsi).
  5. Perkuat Pendidikan Digital untuk ASN: kesiapan teknis dan budaya kerja digital mesti menjadi prioritas pelatihan.

 

Negara yang mengabaikan reformasi birokrasi menghadapi konsekuensi: efisiensi menurun, kepercayaan publik tergerus, korupsi merajalela, dan anggaran publik tersedot untuk biaya tidak produktif. Sebaliknya, negara yang konsisten melakukan reformasi digital dan tata kelola merebut surplus produktivitas yang berujung pada layanan lebih cepat, penghematan riil, dan daya tarik investasi. Indonesia harus memilih: meneruskan kebiasaan kecil yang menumpuk jadi masalah besar, atau melakukan reformasi sistemik sekarang. Bukti empiris lintas-negara menunjukkan pilihan kedua berbuah hasil.

Kertas yang bertumpuk di kantor bukan sekadar masalah operasional: ia simbol pilihan anggaran dan tata kelola. Menghemat kertas berarti menghemat uang rakyat dan lebih jauh, membangun birokrasi yang lebih cepat, akuntabel, dan layak dipercaya. Reformasi bukan sekadar soal teknologi: ia soal keberanian pimpinan untuk mengubah kultur, penegakan aturan, dan memberi insentif tepat bagi pegawai yang berpikir efisien. Jika kita terus mengatakan "iya, nanti saya print," kita sedang menunda tindakan yang sederhana namun berdampak besar  untuk PNS yang lebih sejahtera, anggaran publik yang dipakai produktif, dan pelayanan publik yang akhirnya layak dibanggakan.

 

Bagikan :
Tag :
-