Dalam dunia birokrasi Indonesia, ada sebuah paradoks yang terus berulang: di satu sisi, Aparatur Sipil Negara (ASN) diharapkan mampu bekerja profesional dan mandiri, namun di sisi lain, budaya hierarki yang kaku justru menuntut mereka untuk selalu menunggu instruksi atasan sebelum bertindak. Fenomena ini bukan sekadar persoalan disiplin kerja, melainkan cerminan dari sistem yang masih mengutamakan rasa aman di atas keberanian mengambil risiko, kepatuhan di atas inovasi, dan formalitas di atas efisiensi.
Struktur birokrasi Indonesia dibangun di atas fondasi hierarki yang kuat. Dalam banyak hal, ini diperlukan untuk menjaga koordinasi dan akuntabilitas. Namun, ketika hierarki berubah menjadi ketaatan buta, lahirlah budaya "asal Bapak senang" sebuah mentalitas di mana keputusan tidak didasarkan pada analisis kebutuhan, melainkan pada keinginan atasan.
ASN sering terjebak dalam dilema: mengambil inisiatif berarti berisiko salah dan terkena sanksi, sementara menunggu perintah meski lamban justru lebih aman bagi karier. Akibatnya, banyak proses pelayanan publik terhambat bukan karena ketiadaan regulasi, melainkan karena ketiadaan "tanda tangan atasan". Padahal, dalam banyak kasus, aturan sudah jelas, namun keberanian untuk eksekusi mandiri justru kurang.
Ketergantungan berlebihan pada atasan menciptakan beberapa masalah serius:
Inefisiensi Pelayanan Publik
Contoh nyata terlihat di layanan perizinan, dimana sebuah dokumen bisa tertunda berminggu-minggu hanya karena pejabat berwenang belum memberi "arahan". Padahal, jika ASN di lini depan diberi kepercayaan, proses bisa diselesaikan dalam hitungan hari.
Pemiskinan Inovasi
Birokrasi seharusnya terus beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat. Namun, ketika setiap langkah harus menunggu persetujuan atasan, tidak ada ruang bagi terobosan. ASN yang kreatif seringkali frustasi karena ide-idenya terbentur prosedur yang kaku.
Kultur "Yes Man" yang Merugikan
Dalam lingkungan dimana ketidaksetujuan dianggap pembangkangan, ASN cenderung hanya mengiyakan atasan tanpa memberikan masukan kritis. Akibatnya, kebijakan yang sebenarnya bermasalah bisa lolos hanya karena tidak ada yang berani menyanggah.
Untuk memutus lingkaran ketergantungan ini, diperlukan perubahan sistemik:
Pemberdayaan ASN melalui Pelatihan Kepemimpinan
ASN perlu dilatih untuk mengambil keputusan berdasarkan regulasi, bukan hanya perintah atasan. Program seperti leadership bootcamp atau decision-making workshop bisa membantu membangun kepercayaan diri.
Reward bagi Inisiatif, Bukan Hanya Kepatuhan
Sistem penilaian kinerja harus memberi bobot lebih pada inovasi dan problem-solving, bukan sekadar kesesuaian dengan prosedur. ASN yang berani mengambil langkah strategis (dalam koridor hukum) harus diapresiasi.
Perlindungan bagi Whistleblower dan Pemberi Masukan
ASN harus merasa aman ketika memberikan feedback atau melaporkan kebijakan yang keliru. Tanpa perlindungan, budaya "asal Bapak senang" akan terus dominan.
Desentralisasi Pengambilan Keputusan
Pendelegasian wewenang yang lebih besar kepada level pelaksana bisa mempercepat layanan. Jika suatu keputusan bisa diambil di level staf, mengapa harus menunggu direktur?
Ketergantungan pada instruksi atasan mungkin terasa nyaman secara individu, tetapi secara kolektif, ia membunuh daya saing birokrasi. Jika Indonesia ingin memiliki pemerintahan yang efisien, ASN harus didorong untuk berpikir mandiri, bertindak cepat, dan berani bertanggungjawab tentu saja, dengan rambu-rambu hukum yang jelas.
Reformasi birokrasi bukan hanya tentang digitalisasi atau pemotongan prosedur, melainkan juga perubahan mindset: dari "tunggu perintah" menjadi "selesaikan masalah". Tanpa itu, impian tentang pelayanan publik yang cepat dan berkualitas akan tetap menjadi mimpi di siang bolong.