Bike to work pagi tadi aku menemukan bunga-bunga berguguran yang belum sampai disapu. Terlihat kuning cerah di atas pekatnya aspal, yang jika diperhatikan, sebenarnya itu sangat mencolok! Dan ketika Aku menaikkan pandangan mencari asal dari bunga-bunga itu, Wah seperti terbuka dimensi baru, jajaran warna kuning yang proposional membujur di sepanjang Jalan Sudanco Supriyadi ini. Bukan, bukan bendera Golkar ya, pohon tabebuya sedang bermekaran. (27 Oktober 2023)
Tersebut adalah prosa yang pernah saya jadikan status WA. Dan bukan sekedar status WA, banyak prosa lainnya yang sebetulnya adalah kampanye saya dalam mempopulerkan bike to work. Tidak seperti kampanye pada umumnya yang mengeksplorasi manfaat bike to work terhadap perubahan iklim serta tingkat kemacetan, di wilayah Pemerintah Kabupaten Blitar tempat saya bekerja, isu-isu tersebut rasanya kurang menarik. Suasana Kabupaten Blitar masih cenderung sejuk, lengang dan lebih minim bencana alam, bahkan menjadi anggapan umum di kalangan Aparatus Sipil Negara (ASN) di sini bahwa Kabupaten Blitar adalah yang terbaik untuk menghabiskan masa pensiun dengan damai.
Terlepas dari segala dampaknya terhadap lingkungan hidup, rasanya yang pasti memotivasi seseorang untuk berubah adalah apa yang akan berdampak terhadap mereka secara langsung dan instan. Karena itulah dalam setiap kesempatan, dari pada isu lingkungan atau isu kesehatan yang sudah dipahami oleh banyak orang, saya lebih memilih mengkomunikasikan bike to work sebagai olahmental dan olahduit!
Di tengah kesibukan yang menggebu tiada henti, setiap kita butuh ruang untuk berhenti. Bukan berarti tidak produktif, rentang waktu selama “lari” dari pekerjaan justru menjadi yang paling mendongkrak pencapaian kita. Greg Mckeown dalam bukunya berjudul esensialisme: pentingkan yang penting saja, mengatakan bahwa Jeff Weiner, CEO LinkedIn, menjadwalkan ruang kosong dua jam dalam kalendernya setiap hari, serta Bill Gates yang secara teratur meluangkan satu pekan penuh untuk berpikir dan membaca. Di ruang-ruang berhenti itulah kreatifitas dan inovasi sering bermunculan, selain juga menjadi kesempatan untuk kembali dan menyelaraskan mental kita sendiri. Namun memang kebanyakan lingkungan kerja tidak menilai demikian. Rasanya setiap atasan merasa bersalah jika kita terlihat tidak mengerjakan apa-apa. Di sinilah bike to work mengambil peran strategisnya. Bike to work dapat menjadi sarana untuk kita menemui dan membersamai diri kita sendiri, membebaskan pikiran dan perasaan kita berkelebat semau-maunya. Karena bagaimanapun juga, semua orang memaklumi bahwa waktu selama bike to work adalah mutlak milik kita tanpa bisa disabotase oleh pekerjaan atau anggapan miring orang. Saya sendiri sering menemukan ide-ide solutif saat berada di momen bike to work ini, atau tidak kalah pentingnya, saya menilai bike to work sebagai waktu tenang untuk memproses perasaan saya yang kacau terhadap berbagai tantangan di tempat kerja. Disadari atau tidak, hal inilah yang juga turut menguatkan mental kita untuk terus maju dan bertahan.
Selain itu, bike to work jelas akan berpengaruh positif pula pada keuangan kita. Apakah kontribusinya cukup besar untuk membuat kita kaya? Seorang minimalis pasti akan menjawab “iya” untuk bocor-bocor halus keuangan ini. Tapi bagi kita kebanyakan, mungkin nominal pengehematan bike to work tidaklah seberapa, apalagi jika dibanding-bandingkan dengan alasan efisiensi waktu. Namun lebih dari itu, saya melihat penghematan sekecil apapun itu merupakan buah dari filosofi hidup seseorang. Bagi yang tidak mempedulikan hal-hal receh, membicarakan manfaat bike to work dari sisi keuangan hanyalah bagi orang pelit yang tidak bisa menikmati hidup saja. Namun bagi orang yang gemi, bahasa Jawa untuk hemat dan teliti, penghematan bike to work adalah bagian dari melatih diri untuk menghemat pula pengeluaran di pos-pos lainnya. Dan itulah yang membuka lebih lebar potensi menuju kaya raya. Berapa besaran penghematan bike to work memang tidak sama bagi tiap-tiap orang. Tapi cukup seru untuk menantang diri sendiri untuk mencoba bike to work dalam katakanlah satu bulan. Lalu coba hitung, setelah satu bulan itu ada berapa rupiah yang terkumpul. Apakah bisa untuk sesekali mentraktir teman-teman secangkir kopi kekinian? Atau sesekali memanjakan diri dengan nonton bioskop? Itu masih belum menghitung manfaat sehat dari sisi olahraganya bike to work itu sendiri.
Untuk mengkampanyekan itu semua memang tidak mudah, dan sebenarnya bukan kewajiban kita. Karena pada dasarnya, kita tidak bisa merubah apapun pada siapapun. Bahkan pasangan kita sendiri pun juga adalah pribadi yang berbeda, memiliki pengalaman dan pemikiran bebasnya sendiri yang tidak sama. Tapi konsisten dalam memberikan keteladanan adalah hal lainnya, banyak orang tergerak bukan karena aturan, tapi oleh keteladanan seseorang yang terus menerus. Berbicara tentang konsistensi, berikut satu prosa lagi yang pernah saya kampanyekan melalui status WA:
Masyarakat bertinyi2 apakah aq stop b2w di musim ujan gini? Ndak lucu kan capek2 kejebak ujan, bisa sampe magrib pula. But sorry to say no! Jadi inget satu episode podcast “menjadi manusia” yang menanyakan ulang, Sejak kapan hujan menjebak qta? Bukankah hujan hanya turun apa adanya, sesederhana mengikuti siklusnya saja. Mengguyur untuk menyuburkan, membasahi untuk membersihkan. Hujan tidak menjebak apapun. Kitalah yang memutuskan untuk menjebak diri kita sendiri, dari kebasahan, dari kepedihan atau dari ekspektasi berlebihan. (27 Februari 2024)
#KompetisiArtikel #KompetisiMenulis #SembariDinas #AbdiMuda #KompetisiASN #LombaASN #MenulisdiSembariDinas #ASNPunyaCerita #KisahInspiratifasn #Biketowork #b2w