Berdamai dengan Mutasi, Jadilah ASN Adaptif!

Gambar sampul Berdamai dengan Mutasi, Jadilah ASN Adaptif!

Perpindahan ASN pusat ke IKN semakin dekat. Saya membayangkan bagaimana para ASN pusat ini harus pindah ke suatu daerah yang mungkin belum pernah dikunjungi sebelumnya. Yang mungkin saja tidak ada sanak saudara maupun teman di sana. 

Saya bukan termasuk ASN yang akan segera menempati IKN. Namun jika bicara mengenai bagaimana rasanya pindah tugas, saya bisa berbagi pengalaman. Saya adalah ASN yang bertugas Kabupaten Malang. Kabupaten dengan wilayah terluas kedua di Provinsi Jawa Timur. Terdapat 33 kecamatan di sana. 

Sebagai Penyuluh Keluarga Berencana (PKB) yang punya wilayah kerja di tingkat kecamatan tentu harus siap ditempatkan di kecamatan mana saja. Termasuk kecamatan-kecamatan yang selama ini dianggap “berat” karena medannya yang menantang: apakah itu di pesisir pantai, hutan, maupun pegunungan. 

Rasanya amit-amit bagi emak-emak dengan dua anak seperti saya. 

Mutasi adalah Keniscayaan

Kalimat ini terdengar akrab bagi para ASN di seluruh instansi. Suka tidak suka, sebagai ASN suatu hari akan mutasi. Entah itu pindah di wilayah kerja atau pindah ke instansi baru.

Selama sembilan tahun mengabdi sebagai ASN, saya juga tidak luput dari mutasi. Sedikitnya sudah empat kecamatan yang saya singgahi. Tentu saja, setiap kecamatan adalah tempat menantang bagi saya yang sejak kecil terbiasa hidup di perkotaan yang serba ada dan dekat.

Di sini saya akan membagikan pengalaman untuk survive, terutama dalam masa adaptasi di wilayah kerja yang baru.

Pengalaman saya mungkin tidak apple to apple dengan mutasi ke IKN. Tapi semoga tulisan ini bisa membantu siapapun yang akan pindah ke IKN. 

Antara Kabupaten dan IKN

Bagi saya, dan mungkin bagi banyak ASN lainnya, kabupaten menawarkan banyak keunikan yang mungkin sudah tidak kita temukan lagi di perkotaan. 

Mulai dari aspek sosial. Banyak warga kabupaten, terutama di kecamatan-kecamatan tempat saya bertugas. Bahasa Jawa Krama Inggil menjadi bahasa yang dominan digunakan. Kemudian, cara orang-orang menyapa tidak langsung memanggil nama, tapi dengan sebutan “mas”, atau “mbak”. Bahkan terhadap orang yang lebih muda sekalipun. 

Kemudian, masyarakatnya juga guyub rukun dan menjunjung tinggi rasa kebersamaan.

Bagi masyarakat Kabupaten, terutama di wilayah pedesaan, tamu adalah raja. Ketika ada tamu yang berkunjung, rasanya tidak enak hati kalau sampai tidak menawari makan. Jadi kami tidak pernah “kelaparan” ketika mengabdi di pedesaan, karena masyarakatnya yang ramah, terlebih jika sudah kenal lama rasanya jadi seperti keluarga sendiri. 

Selain itu, beragam mitos juga masih dijunjung tinggi. Seringkali, mitos-mitos itu jadi tantangan besar bagi para Penyuluh KB. Seperti rasa takut menggunakan kontrasepsi karena dapat mengganggu kenyamanan hubungan suami-istri. Sebenarnya jika memakai kontrasepsi dengan tepat sesuai kebutuhan, justru keluarga akan harmonis. Mitos ini terlanjur menancap di benak masyarakat pedesaan, sehingga saya harus mengadakan sosialisasi. Butuh waktu untuk meyakinkan masyarakat kalau ikut program KB sangatlah bermanfaat.

Dari segi kependudukan, kebanyakan desa di wilayah Kabupaten Malang tergolong daerah homogen. Namun tak sedikit yang heterogen karena tak melulu dihuni penduduk dari suku Jawa, tapi juga pendatang. Misalnya dari Suku Madura. 

IKN, tentu saja akan menjadi daerah heterogen. Mirip dengan Jakarta. 

Menurut data Dukcapil Kemendagri, saat ini sudah ada 300 ribu orang yang akan menjadi penduduk IKN. Mereka adalah penduduk dari 5 kecamatan di Kutai Kartanegara, dan 2 kecamatan di Penajam Paser Utara yang wilayahnya “dilebur” dalam IKN. 

Hingga 2045 nanti, jumlah penduduk IKN diproyeksikan sebanyak 1,9 juta jiwa. 

Sempat ada isu bahwa penduduk IKN akan dibatasi maksimal 2 juta jiwa. Tapi kemudian isu itu dibantah pihak Otorita IKN. Kata mereka, IKN didesain menjadi daerah inklusi: siapapun bisa datang untuk bekerja, sekolah, maupun berwisata. 

Bisa dibayangkan, dari 2 juta jiwa itu, mayoritas merupakan pendatang. Termasuk para ASN pindahan dari pusat. Banyak dari ASN itu yang tidak pindah sendirian, tapi juga membawa keluarganya. 

Sekali lagi, IKN akan menjadi daerah yang sangat-sangat heterogen. Sama seperti Jakarta. 

Desain IKN memang sudah dipaparkan oleh pemerintah. Kita juga sudah berulang kali melihat gambar, maupun video IKN yang terkesan futuristik itu. 

Tapi, seperti apa sebenarnya kehidupan di IKN itu nantinya mungkin saja akan jauh dari bayangan kita. 

Dari yang paling mendasar soal tempat tinggal. 

Apartemennya memang akan disediakan oleh pemerintah, yang katanya modern itu. Tapi benarkan seperti itu? bagaimana ketersediaan air bersihnya? Listrik? Internet? Lalu, bagaimana akses transportasi ke tempat kerjanya? Apakah sudah siap untuk mengakomodasi ratusan ribu, bahkan jutaan orang?

Belum lagi bagi ASN yang membawa keluarganya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah, apakah IKN jadi tempat yang aman bagi anak-anak? Seperti apa kualitas sekolahnya? Apakah setara dengan Jakarta? 

Karena itu, begitu ASN menerima SK Mutasi untuk pindah ke IKN, akan muncul berbagai rasa. Wajar bila muncul ketakutan atau kekhawatiran. 

Kita yang sudah terbiasa di suatu lokasi kerja, sudah terlanjur punya jaringan yang bagus, sudah terlanjur berada di zona nyaman, tiba-tiba harus pindah dan memulai segalanya dari nol. 

Pastinya menantang, bahkan bagi banyak orang terasa canggung ketika harus berkenalan dengan rekan kerja baru, lalu beradaptasi dengan lingkungan baru tempat kita bekerja. 

Tapi mutasi adalah keniscayaan. Suka tidak suka kita harus siap dimutasi kapanpun. Karena itu, sebagai ASN, sejak awal kita harus berusaha menjadi pribadi yang adaptif. Siap dan bersedia mengabdi di mana saja. 

Cara beradaptasi yang pertama adalah menerima. menerima bahwa kita sudah dimutasi dan berada di tempat baru dengan segala kurang lebihnya. proses menerima ini tentu tidak mudah, karena dalam benak pegawai pasti muncul berbagai spekulasi. “Apakah kehadiranku bisa diterima?, apakah aku bisa nyaman di tempat baru?”.

Ketika saya yang terbiasa tinggal di perkotaan harus bekerja di pedesaan, ada banyak shock culture yang terjadi. Saya cukup kaget dengan fasilitas umum yang tersedia. 

Untuk kecamatan kecil, bank konvensional hanya ada satu. Padahal di tempat saya tinggal, berbagai bank BUMN tersedia. Awalnya saya ngedumel (menggerutu) dalam hati karena ketika ada urusan perihal perbankan, mau tak mau saya harus pergi ke kecamatan lain. 

Tentu saja itu bisa menguras waktu dan tenaga. Apalagi luas satu kecamatan di Kabupaten Malang hampir sama dengan luas Kota Malang. Perlahan, diri ini bisa menerima dengan kondisi di kecamatan saya bekerja.

Setelah menerima, langkah kedua adalah Ojo Dibandingke. Jangan pernah membanding-bandingkan tempat kerja baru kita (atau calon) dengan tempat kerja kita saat ini. Karena membandingkan itu tidak ada habisnya. 

Pastinya akan ada rasa “Kok lebih enak tempat yang lama ya,” “Kok teman kerjanya lebih asyik di kantor lama?” dan lain-lain. 

Kalau perasaan itu terus dipelihara, maka yang terjadi adalah kita akan kehilangan gairah bekerja. Jangan lupa bahwa mutasi adalah bagian dari takdir. Kita yang punya angan, tapi SK yang menentukan. 

Mutasi sebaiknya dilihat dengan perspektif yang positif. dengan adanya mutasi, akan memperkaya pengalaman kita. bagaimana menghadapi berbagai situasi, permasalahan di tempat kerja dengan cara yang lebih seimbang dan konstruktif.  Mutasi memberikan kita peluang untuk terus tumbuh dan berkembang. 

Jadi, mutasi bukannya membuat kita menjadi lemah. Namun justru akan mengasah kita untuk menjadi pribadi yang tangguh dan kuat. 

Bagikan :
Tag :