Di negeri yang masih berjuang melawan korupsi sistemik, kisah-kisah kecil tentang integritas sering kali tenggelam di antara berita besar tentang skandal dan penyalahgunaan jabatan. Namun, justru dari cerita yang tidak viral itulah kita menemukan harapan. Salah satunya datang dari seorang ASN bernama Pak Budiman (bukan nama sebenarnya).
Di tengah riuhnya dunia birokrasi, di tengah kompleksitas birokrasi dan tekanan politik, di mana godaan bisa datang dalam bentuk amplop, bisikan, atau bahkan tatapan penuh harap, menjaga integritas bukan sekadar pilihan moral, melainkan bentuk keberanian. Di balik meja perencanaan dan ruang rapat kebijakan, sebagai seorang pejabat Pak Budiman membuktikan bahwa nilai-nilai antikorupsi bisa hidup dan berakar kuat, bahkan di posisi strategis yang rawan kompromi.
Sebagai Pejabat Perencana di instansi pemerintah, Pak Budiman tidak hanya menyusun program dan anggaran. Ia adalah penentu arah kebijakan, pengendali proses pengadaan, dan penjaga akuntabilitas. Dalam peran itulah, ia menghadapi dua ujian besar yang mengukuhkan reputasinya sebagai figur integritas.
Ketika Kebijakan Bertemu Kepentingan Pribadi
Suatu ketika, dalam proses pengadaan barang dan jasa, Pak Budiman mendapati bahwa salah satu perusahaan peserta lelang adalah perusahaan dimana istrinya bekerja disitu. Situasi yang sangat sensitif, karena ia bukan hanya panitia teknis, tetapi juga penentu kebijakan yang bisa saja mengarahkan hasil. Namun, Pak Budiman memilih jalan yang tidak mudah. Ia tidak memberi tahu istrinya tentang syarat teknis, tidak memberi perlakuan khusus, bahkan tidak membahas proses lelang di rumah, karena ini bisa menimbulkan conflict of interest.
Banyak yang akan tergoda untuk “membantu sedikit.” Memberi tahu syarat teknis, atau sekadar memastikan dokumen tidak keliru. Tapi Pak Budiman memilih diam. Bahkan ketika sang istri bertanya, ia hanya tersenyum dan berkata, “Ikuti prosedur, Bu.”. Ia menjaga jarak profesional yang tegas, meski secara pribadi itu berat.
Ketika dokumen dibuka dalam sesi aanwijzing, perusahaan dimana istrinya bekerja dinyatakan gugur karena dokumen tidak dijilid sesuai ketentuan. Kesalahan kecil, tapi fatal. Banyak yang terkejut, terutama pesaing yang mengira hasilnya sudah bisa ditebak. Tapi Pak Budiman tetap tegak. Ia tidak intervensi, tidak manipulasi, dan tidak kompromi. “Kalau saya bantu, saya bukan lagi pembuat kebijakan. Saya hanya jadi pelayan kepentingan pribadi,” ujarnya kepada koleganya. “Integritas bukan hanya soal tidak menerima uang,” katanya kepada rekan-rekannya. “Tapi soal berani berkata tidak, bahkan ketika semua orang memilih diam.” Setelah berada d rumah pun istri protes kenapa tidak diberitahu tentang syarat yang sepele itu. Pak Budiman tidak memberi tahu sebelumnya. Tidak memberi petunjuk. Ia membiarkan proses berjalan sebagaimana mestinya. “Kalau saya bantu, saya kehilangan harga diri saya sebagai panitia, dan ini bisa masuk dalam conflict of interest” ujarnya kemudian.
Menolak Suap, Menegakkan Martabat Jabatan
Ujian berikutnya datang lebih frontal. Ketika itu terjadi proses pengadaan dengan nilai Milyaran rupiah. Pada tegah malam saat manusia terlelap dalam istirahat, salah seorang dari penyedia yang ikut dalam proses pengadaan barang yang nilainya milyaran, mendatangi Pak Budiman dan mendekatinya, menawarkan uang 500 juta rupiah agar perusahaannya diloloskan dalam tender. Sebagai pejabat perencana, Pak Budiman punya kuasa untuk mengatur arah dan hasil. Uang 500 juta bukan uang sedikit jika diterima otomatis akan bisa utuk melunasi kredit KPR rumahnya, tapi ini adalah bisikan setan, ia memilih menolak. Cara menolaknya pun dengan cerdas penuh keberanian, ia mengundang via telepon kepada panitia lain dalam tim pengadaan. Ia mengatakan: “Ini ada tawaran setan apakah kalian mau?”. Kalau saya tidak mau”, ujarnya kemudia. Pemanggilan panitia lain ini sebagai saksi, mencatat kejadian tersebut, dan memastikan bahwa proses tetap transparan. Ia tahu, jabatan bukan sekadar posisi administratif, tapi amanah publik yang harus dijaga. Integritas bukan hanya soal tidak menerima uang, tapi soal berani menolak, berani mencatat, dan berani berdiri meski sendirian.
Menanam Nilai Antikorupsi Lewat Tindakan
Pak Budiman tidak hanya bicara soal antikorupsi. Ia menjalankannya dalam tindakan nyata: Kejujuran, dengan tidak menyalahgunakan posisi meski terhadap keluarga sendiri. Tanggung jawab, sebagai penentu kebijakan memastikan proses lelang berjalan adil dan transparan. Disiplin, dengan tetap transparan mengikuti SOP membuka proses kepada saksi dan dokumentasi. Adil dan Amanah, dengan tidak menyalahgunakan jabatan meski terhadap keluarga sendiri. Keteladanan, dengan menunjukkan bahwa kebijakan bisa dibuat tanpa kompromi dan menunjukkan bahwa menolak korupsi bukan hanya mungkin, tapi harus dilakukan. Keberanian moral, dengan menolak suap secara terbuka dan melibatkan saksi serta tegas.
Pak Budiman menjadi contoh bahwa jabatan strategis bukan alasan untuk bermain aman, melainkan peluang untuk menunjukkan integritas yang sesungguhnya.
Lentera di Tengah Kabut Birokrasi
Pak Budiman mungkin tidak viral. Namanya tidak masuk daftar tokoh nasional. Tapi di ruang-ruang kebijakan, ia adalah lentera. Ia membuktikan bahwa menjadi pejabat bukan hanya soal menyusun program, tapi soal menjaga nilai.
Di tengah kabut birokrasi yang kadang abu-abu, ia memilih menjadi titik terang. Ia mengingatkan kita bahwa jalan lurus mungkin sepi, tapi ia selalu menuju tempat yang benar. Dan dari kisahnya, kita belajar satu hal penting: bahwa integritas bukan hanya bisa dijaga, tapi bisa diperjuangkan bahkan dari kursi kebijakan tertinggi.
Menjadi Teladan Tanpa Panggung
Pak Budiman tidak pernah menerima penghargaan. Tidak ada piagam, tidak ada sorotan media. Tapi di ruang-ruang sunyi tempat keputusan dibuat, ia telah menjadi teladan. Ia membuktikan bahwa menjadi ASN bukan hanya soal melayani negara, tapi juga menjaga nurani. Bahwa integritas bukanlah slogan, melainkan pilihan yang diambil berulang kali, bahkan ketika tidak ada yang melihat.
Di tengah dunia yang sering kali mengaburkan batas antara benar dan salah, Pak Budiman berdiri tegak. Ia adalah pengingat bahwa kejujuran mungkin tidak selalu menang cepat, tapi ia tidak pernah kalah.
Semoga kisah ini menguatkan keberanian kita untuk terus memilih jalan yang benar, meski tak selulu mudah. Karena pada akhirnya, harga diri kita ditentukan oleh nilai yang kita pegang teguh. Mari kita jaga nurani, tegakkan kejujuran, dan jadikan integritas sebagai warisan yang kita tinggalkan untuk generasi berikutnya.HDU.