Belajar Integitas dari Tokoh Bangsa

Gambar sampul Belajar Integitas dari Tokoh Bangsa

“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki.” –Mohammad Hatta

Dalam perjalanan sejarah Republik, Indonesia tidak hanya mewarisi kemerdekaan, tetapi juga nilai-nilai luhur yang ditanamkan oleh para pendahulu, dengan harapan kelak menjadi teladan bagi generasi berikutnya. Diantara warisan itu, integritas menjadi pegangan yang paling berharga, sekaligus kian terasa langka di masa kini. Integritas bukanlah sesuatu yang lahir dari retorika, melainkan dari perilaku kehidupan sehari-hari. Sayangnya, di tengah derasnya berbagai arus ambisi dan kepentingan, nilai itu kerap hanya berhenti sebagai slogan, bukan teladan. Padahal, bangsa yang kehilangan integritas ibarat rumah dengan pondasi rapuh megah menjulang, namun perlahan roboh tergerogoti dari dalam. Sebab itu, menengok kembali kisah para tokoh bangsa yang menjadikan integritas sebagai nafas hidupnya, menjadi penting untuk menyadarkan kita bahwa teladan itu pernah ada, dan semestinya tetap diwarisi.

Kita Tahu …

Kita tahu Muhammad Hatta, sang proklamator sekaligus juga wakil presiden pertama Republik Indonesia, sosok yang hampir semasa hidupnya mengorbankan semua yang dimiliki hanya untuk negaranya, Indonesia. Bung Hatta pernah merahasiakan kebijakan pemotongan uang kebijakan sanering namanya dari istrinya, sehingga uang yang sudah dikumpulkan, tak lagi cukup untuk membeli mesin jahit yang diinginkan sang istri. Bung Hatta pun memiliki angan yang seumur hidupnya tak kunjung tercapai, sepatu Bally, sepatu modis pada medio 1950-an. Mungkin terlintas pada pikiran kita, dengan jabatan sebagai orang nomor dua di Indonesia, kenapa angan sekecil itu sampai tak tercapai. Namun, prinsip Bung Hatta jelas, bahwasannya kepentingan negara tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan keluarga, terlebih kepentingan pribadi.

Kita tahu Haji Agus Salim, the Grand Old Man, seorang diplomat ulung yang juga pernah menyandang jabatan Menteri Luar Negeri pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Dengan jabatan itu, kira-kira apa yang tidak bisa dimiliki oleh beliau? uang, kemewahan, kemapanan? sepertinya bukanlah suatu yang sulit dimiliki ketika menyandang status menteri. Tapi tidak dengan beliau, semumur hidupnya, beliau selalu pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya, tidak pernah mempunyai tempat tinggal yang tetap. Kesederhanaannya bukanlah akibat keterbatasan, melainkan pilihan hidup yang berakar pada nilai-nilai kejujuran, kesahajaan, dan amanah. Ia menolak memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi, karena baginya, jabatan adalah amanah, bukan jalan menuju kemewahan. Tak heran, pepatah kuno Belanda disematkan oleh Mohammad Roem untuk menggambarkan kesaksian akan betapa zuhudnya keteladanan hidup Sang Menteri, "Leiden is lijden!" (Memimpin adalah Menderita).

Kita tahu Hoegeng Imam Santoso, Kapolri yang mendapat cap dari Presiden ke empat Indonesia Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebagai salah satu polisi yang jujur di negara ini disamping polisi tidur dan patung polisi. Jendral Hoegeng tidak akan mendapatkan cap itu dari Gus Dur, jika beliau tidak tegak pendirian. Sang Jendral menutup masa pengabdiannya tanpa memiliki rumah megah, kendaraan mewah, ataupun kekayaan yang biasa melekat pada pejabat tinggi. Ia benar-benar pulang dengan tangan bersih. Integritas itu bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba, melainkan prinsip yang telah lama ia jaga, pendirian beliau sudah lebih dahulu tegak sebelum menjadi Kapolri. Meskipun hidup dengan sangat sederhana, Sang Jendral tidak segan untuk meminta istrinya menutup toko bunganya ketika beliau menjabat sebagai Kepala Djawatan Imigrasi. Pendiriannya jelas, menolak segala bentuk kesempatan konflik kepentingan, demi menjaga martabat dan kehormatan sebagai pejabat negara.

Kita tahu Baharuddin Lopa, seseorang yang hampir seumur hidupnya digunakan untuk mengabdi kepada negaranya. Mulai dari menjadi penegak hukum, birokrat —Bupati Majene, dan puncaknya menjadi Jaksa Agung era Presiden Abdurrahman Wahid. Dengan berbagai jabatan sementereng itu, tentunya tidak sedikit benturan kepentingan yang bisa membuatnya goyah. Namun benteng integritasnya tetap berdiri tegak, bahkan untuk setetes bensin pun beliau sampai mengembalikan karena tidak merasa ada haknya disitu. Lopa pun cukup alergi terhadap pemberian hadiah, dalam bentuk apa pun, dan dari siapa pun, terlebih para pejabat yang ingin mendekatinya. Ajudannya menjadi saksi, bahwasanya lebih baik memberi ke rakyat yang susah, dibanding memberi Lopa yang sudah memiliki gaji. Lebih jauh, ia menunjukkan ketegasan sejati ketika mengusut kasus yang melibatkan sahabat dekatnya —yang menjabat sebagai Kepala Kanwil Agama Sulawesi Selatan, K.H. Badawi— tanpa pandang bulu, demi tegaknya hukum. Lopa memiliki batas yang tegas, bahwasannya urusan negara tidak bisa beririsan dengan urusan diri pribadi.

Kita tahu Sri Sultan Hamengku Buwono IX, penyandang gelar orang nomor wahid di Yogyakarta mulai tahun 1940-an dan juga Wakil Presiden Republik Indonesia medio 1970-an. Dengan tahta semewah itu, namanya tentu harum dan tersohor ke seluruh penjuru negeri. Namun kenyataan agaknya berbeda, sikap rendah hati yang Sang Raja tunjukkan membuatnya mudah bergaul dengan semua elemen masyarakat, tak terkecuali masyarakat kecil. Salah satu kisah masyhur di kalangan kawula Ngayogyakarta adalah ketika beliau memberi tumpangan Jip Willys kepada seorang Mbok Bakul —pedagang gendong— yang hendak menuju pasar. Si Mbok, yang tak tahu siapa pengemudi Jip itu, berbincang santai sepanjang perjalanan dan bahkan menyodorkan ongkos sebagaimana biasa ia lakukan pada sopir oplet. Betapa terperanjat dirinya ketika kemudian mengetahui bahwa lelaki sederhana yang menolongnya itu ternyata adalah Sang Raja, Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Saking kagetnya, Si Mbok sampai jatuh tak sadarkan diri. Kisah tersebut menjadi refleksi betapa Raja sejati tidak diukur dari singgasana dan kekuasaan, melainkan dari kerendahan hati dan kasihnya kepada rakyat.

Kita tahu Artidjo Alkostar, Sang Pendekar Hukum Berdarah Madura, salah satu sosok langka di bidang hukum paling disegani di negeri ini —Hakim Agung, sekaligus mantan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung. Namanya ibarat mimpi buruk bagi para koruptor, setiap kali berhadapan perkara dengannya, mereka tahu vonis yang lebih berat nyaris pasti tak terelakkan, musuh terbesar negara ini adalah para koruptor yang berpolitik tegasnya. Integritas dan keteguhan hatinya menjadikan Artidjo seperti tembok kokoh yang tak bisa ditembus oleh tipu daya atau kekuasaan. Tak heran, begitu beliau memasuki masa purnabakti, banyak koruptor yang buru-buru mengajukan peninjauan kembali atas kasus mereka, seolah merasa lega karena ‘ranjau’ bernama Artidjo tak lagi menghadang di hadapan mereka. Belum lama Sang Pendekar berpulang, bagi rakyat yang merindukan keadilan, nama Artidjo tetap hidup sebagai angin segar —sebuah simbol keberanian dan kesetiaan pada hukum yang tak tergoyahkan.

Teladan Itu (Pernah) Ada

Republik ini tak pernah berhenti melahirkan tokoh-tokoh berintegritas, yang semestinya menjadi teladan bagi generasi hari ini. Kisah mereka adalah pelita, yang seharusnya menerangi langkah kita, namun terlalu sering dibiarkan meredup. Sementara itu, para pemegang kuasa sibuk membangun relasi oligarki, memelihara korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam berbagai rupa wajahnya. Terlihat jelas, bagaimana pembuatan regulasi kerap dijadikan alat untuk melanggengkan kepentingan, bukan berpihak kepada rakyat. Kita pun terombang-ambing, kian jauh dari teladan yang diwariskan. Namun, dari sejarah kita belajar, harapan tidak pernah redup. Selama masih ada hati yang berani menjaga integritas, selama masih ada tekad yang menolak tunduk, api harapan itu akan tetap menyala. Mungkin kecil, mungkin redup, namun cukup untuk menjaga harapan tetap hidup. Sebab, integritas boleh saja terpinggir dalam riuh kekuasaan, tapi ia selalu menemukan jalan untuk bertahan dan menjadi teladan. Pada akhirnya, hidup mungkin tidak selalu berpihak pada mereka yang teguh menjaga integritas, tetapi akan selalu ada jejak yang mengingat siapa yang pernah memilih untuk setia pada kebenaran.

Bagikan :