Wow Inspektorat? Beruntungnya bisa dinas di tempat yang “basah”. Iya, basah seolah mandi uang, atau tepatnya uang haram. Uang damai, uang pelicin, uang terima kasih; sebutlah semua jenis uang haram seolah-olah dimasukkan ke dalam gentong dan secara terus-menerus disiramkan kepada profesi kita, para auditor pemerintah. Setidaknya itulah tanggapan orang tentang pekerjaanku sebagai auditor di Inspektorat suatu Kabupaten di Jawa Tengah. Orang tua, mertua, saudara, semua beranggapan seperti itu, bahkan tidak dipungkiri aku sempat memikirkan hal yang sama saat awal diterima sebagai CPNS.
Namaku Bayu, mantan pegawai bank yang diterima sebagai CPNS dengan jabatan Auditor Pertama setelah 5 (lima) kali gagal tes CPNS. Tugas kami sebagai auditor yaitu melaksanakan tugas pengawasan, menggunakan insting suudzon yang disebut dengan professional skepticism dalam menilai kinerja suatu perangkat daerah, membuktikan kesalahan yang terjadi dalam proses pelaksanaan, menunjuk pihak yang bertanggung jawab, dan meminta mereka untuk memperbaiki kesalahannya termasuk mengembalikan uang ke kas negara atau berurusan dengan aparat penegak hukum (APH). Ditengah rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat, tugas pengawas pasti identik dengan penyuapan demi penilaian yang baik. Itulah mengapa istilah basah itu disematkan kepada auditor pemerintah.
Namun kenyataan justru berbanding terbalik. Sejauh yang aku rasakan, lingkungan kerja ini sangat berintegritas bahkan kami saling mengingatkan untuk menolak segala jenis tawaran uang, barang, dan kenikmatan lainnya yang menurunkan obyektivitas dan independensi kami sebagai auditor. Alasan kami menjaga integritas mulanya bukan berasal dari pengetahuan tentang nilai-nilai antikorupsi dan dampak korupsi melainkan karena melihat realitas di tempat kami melakukan pengawasan.
Ingatkah tentang kasus seorang pegawai pajak yang terjerat korupsi setelah anaknya terlibat kasus penganiayaan? Hal serupa kami temui hampir setiap hari. Seorang Pegawai Negeri yang menyalahgunakan uang negara yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat pasti mendapatkan “karma”nya dalam bentuk keluarga yang tidak harmonis, kenakalan anak, penyakit keras, kecelakaan, gagal bisnis, atau uang tersebut menguap begitu saja seolah tidak benar-benar dirasakan nikmatnya oleh koruptor itu. Kami melihat hal tersebut di depan mata dan sepakat bahwa korupsi adalah hal yang sia-sia - kenikmatan yang sangat singkat dan akan segera tergantikan dengan penderitaan dunia akhirat.
Tapi apa boleh buat, masyarakat bahkan keluarga terdekat sudah terlanjur memberikan stempel sosial kepada profesi auditor pemerintah. Pernah terlintas dalam benak sebuah pemikiran liar: kalau kita berintegritas saja tetap dicap sebagai penikmat uang haram mengapa tidak kita benar-benar menerima dan menikmati tawaran-tawaran tersebut? Apakah bila kita mempergunakan sebagian dari uang haram yang kita terima untuk disumbangkan kepada rumah ibadah, panti asuhan, atau orang yang membutuhkan minimal kita dicap sebagai koruptor yang baik hati? Mungkinkah uang haram dapat dicuci dengan amal? Aku pribadi tidak punya jawaban yang pasti. Namun aku meyakini bahwa keluarga, saudara, dan sahabatku, serta semua masyarakat Indonesia berhak untuk mendapatkan Pemerintahan yang bersih, Pemerintahan yang benar-benar menyalurkan uang negara dan bekerja untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat. Impian tersebut dapat diwujudkan apabila kita memutuskan untuk menjadi pionir ASN yang berintegritas di tengah lingkungan yang koruptif.
ASN berintegritas ibarat pelita yang mengusir kegelapan. Pelita yang menyala tidak diletakkan di bawah meja melainkan di tempat yang tinggi supaya mengubah kegelapan menjadi terang. Memanfaatkan tempat kerja yang dikenal basah bukan untuk kepentingan pribadi melainkan menjadi inspirasi. Demikianlah kita harus bangga menjadi ASN yang berintegritas ditengah berbagai godaan, membagikan pengalaman dan pengetahuan antikorupsi kepada para pegawai negeri, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan sehingga tercipta ekosistem Pemerintahan yang bersih dan melayani masyarakat secara optimal. Dimulai dari diri kita sendiri!