Mengabdi untuk negeri, menghamba kepada negara, pahit getir demi tanah air, berdiri di atas duri untuk ibu pertiwi. Tanah Papua, hampir 1 abad silam menjadi tempat pengasingan pendiri bangsa. Boven Digoel, menjadi saksi berkawinnya Hatta dengan buku-buku. Silet di meja operasi adalah cara sineas menggambarkan keterbatasan Papua pedalaman lewat film Silet di Belantara Digoel. Bahasa pengabdian para pahlawan bangsa dan para perintis mumpunyai strata tertinggi, jauh dibandingkan kami sebagai ASN Masa Kini. Bak bumi dan langit, kasta pengabdian ASN yang menjalani Penugasan di Seputar Ibukota Jayapura saja, hampir tidak ada apa-apanya.
Satu dasawarsa yang lalu, lewat kompetisi fairplay CASN (Calon Aparatur Sipil Negara) 2014, pintu gerbang penugasan sebagai ASN Pusat di Papua dibuka. Lulus melalui seleksi CAT (Computer Assisted Tes) dan dibekali diklat dengan Nilai-Nilai ANEKA (Akuntabilitas, Nasionalisme, Etika publik, Komitmen mutu, dan Anti korupsi). Penempatan ASN di Papua adalah metode terbaik menjadikan manusia homogen menjadi lebih berwarna. Lelaki Sunda yang 20 tahunan hidup di tatar priangan, kali ini dibekali ANEKA CAT untuk turut mewarnai Tanah Papua. Bumi Maha Raya, Surga Kecil Jatuh ke Bumi Nusantara.
Papua dengan bentangan alam yang luas dan biodiversity yang kaya, pulau terbesar ke-2 di dunia ini terdiri dari setidaknya 250 suku dengan 350 bahasa daerah. Luar biasanya, ada bahasa ajaib yang mampu mempersatukan semuanya, bahasa Indonesia. Bermodalkan bahasa Indonesia, kita bisa berkomunikasi lancar dengan warga di kampung-kampung pesisir pantai sampai pedalaman pegunungan Papua. Di seluruh wilayah adat Papua (Mamta, Saireri, Ha Anim, La Pago dan Mee Pago), bahasa Indonesia fasih diucapkan sehari-hari oleh semua kalangan, baik kalangan muda sampai tua dengan dialek khas yang masih dapat kita pahami. Begitulah sesuai dengan Semboyan Negara kita, “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu disini. Sapaan “Kakak” dan “Mama” mempertegas DNA satu keluarga Indonesia. Panggilan dengan tone saudara itu ditujukan kepada siapa pun tanpa memandang suku, agama, ras dan kelas sosial. Bhinneka Tunggal Ika akhirnya bukan hanya semboyan disini, tapi amalan yang terus hidup dalam urat nadi orang Papua sehari-hari.
Cerita penugasan ASN Masa Kini, tentu jauh berbeda dengan pengabdian dan perjuangan para perintis. Papua abad 21 sudah memiliki aksesibilitas yang lebih baik dengan pesona alamnya yang tetap eksotis. Namun, Papua tetap saja punya cerita unik, cerita “endemik” yang menyengat dan asyik. Melaksanakan kegiatan dengan area kerja 4 provinsi (Papua, Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan), Surat Perjalanan Dinas kami lebih berwarna warni. Perjalanan darat terbatas hanya di 4 kabupaten seputar ibu kota (Kota/Kab Jayapura, Keerom dan Sarmi). Selebihnya, hanya bisa diakses via udara lewat pesawat komersil dan pesawat “jet pribadi” spesifik lokasi a.k.a. pesawat perintis dengan penumpang 4-8 orang saja. Dari pedalaman, seringkali sang pilot merangkap kernet mempersiapkan pesawat pengantar bama (bahan makanan) untuk disulap menjadi pesawat penumpang yang turun gunung. Syahdan, cerita di darat tentu tak kalah menawan. Cerita duit ratusan ribu untuk bisa lewat jembatan sepanggal dusta, sebungkus rokok untuk menutup 1 lubang di jalan raya, adalah biaya tak terduga selama perjalanan yang tidak bisa kami pertanggungjawabkan untuk SPJ bisa direimburse negara. Kami pun harus teliti dan ekstra hati-hati, manakala mendapatkan penugasan ke daerah konflik, dimana sayangnya gerakan separatis masih ada disini. Namun, secara umum perjalanan ke lapangan bagi kami memberikan kesan mendalam. Senyuman Mama-Mama Orang Asli Papua (OAP) memberikan suasana dag dig dug lain yang lebih menenangkan.
ASN Pusat di Papua, juga terlatih untuk dapat memiliki berbagai kompetensi keahlian dan keterampilan karena tuntutan pekerjaan yang setara dengan daerah lain. Di tengah SDM yang terbatas secara jumlah dan kualitas, ASN (termasuk ASN OAP) dituntut harus kreatif dalam menyelesaikan pekerjaan. Terjadilah fenomena ASN multi talenan, mendapatkan semua jenis pekerjaan yang bahkan tak terkait tupoksi jabatan. Selain itu, absensi pekerjaan era kekinian via chat WhatsApp dan online meeting dengan selisih waktu 2 jam seringkali mengganggu aktivitas rutin eight to four ASN on time. Kompensasi berupa uang lembur tentu ada, tapi tidak ada apa-apanya untuk dapat membantu ASN “balik ka lembur” (pulang kampung). Pasalnya, harga tiket Jayapura – Jakarta dan sebaliknya dipatok tinggi melangit dan melambung jauh di udara. Tak terjangkau oleh ASN umbies staf pelaksana. Adanya Tunjangan Khusus Papua, dirasa kureng binggits secara jumlah. Pangkat ASN Pengatur “hanya” diupahi lebih besar Rp350.000,- dibandingkan sesama ASN Pusat Non Kemensultan di Jawa. Tentu itu tidak termasuk dalam kategori tunjangan kemahalan, melainkan tunjangan kemurahan yang entah kapan bisa naik ada perbaikan. Bahkan disini untuk hidup nyaman, kami butuh sepertiga gaji dan tunjangan untuk sekedar biaya kontrakan. Biaya ongkir belanja online yang lebih tinggi dari harga barang, jajanan seblak yang harganya tidak merakyat adalah gambaran lain yang didapatkan.
Hitung-hitungan diupahi negara, jelas bukan esensi tulisan ini. Pengabdian tentunya tidak main untung rugi dan angka-angka. Namun, ASN umbies tentu paham menghadapi realita kehidupan seperti ini. Jauh dari gembar gembor meruahnya Dana Otonomi Khusus Papua, kami harus gigit jari dan tampil lebih rendah dari ekspektasi. Alhamdulillah sebagai ASN Pusat, kami masih mendapatkan tunjangan kinerja yang nilainya bisa mengkatrol take home pay bulanan kami untuk berada di atas upah minimum. Jauh lebih layak dibandingkan teman-teman seperjuangan pejuang NIP dan rekan-rekan ASN di daerah.
Pengorbanan kami jauh levelnya di bawah Bisma yang mengabdi kepada Hastinapura dalam epos Mahabharata. Hanya saja kami bukan Bisma putra Raja Santanu yang disematkan jabatan panglima. Kami hadir di Sentani, sebagai ASN putra bangsa yang bertugas di ujung timur negeri ini. Kami happy disini, terlebih jika kami mendapatkan peluang karier dan pendidikan yang lebih tinggi baik via jalur afirmasi maupun sistem yang termeritokrasi. Syukur-syukur Tuhan sudah berikan garis tangan, bagi kami yang tidak punya ordal yang bisa turut campur tangan, peluang mutasi kami ditandatangan oleh Bapak/Ibu Eselon yang kami mulyakan. Atau setidaknya cukuplah bagi kami setahun sekali bisa pulang menengok orang tua di kampung halaman tanpa dibebani biaya mudik ekstra tinggi.
Sekali lagi kami senang berada disini, di Sentani. Sesuai makna Sentani itu sendiri “Disini Kami Tinggal dengan Damai”. Dari tapal batas, kami mencintai negeri ini tanpa batas. Dari hati tulus ikhlas, semoga ini menjadi cerita cinta yang berbalas.
#ASNPunyaCerita