ASN Sejahtera? Emang Boleh? Boleh Lah, Masak Tidak Boleh

Gambar sampul ASN Sejahtera? Emang Boleh? Boleh Lah, Masak Tidak Boleh

“Kalau mau kaya, jangan jadi PNS!”, “Resign aja, jangan mengeluh terus jadi PNS!”, “Gak bersyukur, masih banyak yang mau di posisi Anda”. Itu adalah beberapa kalimat sakti dari saudara-saudara kita yang non-ASN ketika kita sedikit mengeluh tentang kesejahteraan yang masih jauh dari kata layak. Padahal wajar kita sebagai manusia ingin kehidupan yang sejahtera bahkan mapan untuk diri sendiri maupun untuk keluarga. Apapun profesinya: petani, nelayan, pedagang, pengusaha, karyawan swasta atau ASN kalau ditanya “apakah mau kaya?”, “Ya, mau lah”. Toh kita juga mau sejahtera bukan dengan cara yang salah seperti korupsi, pungli dan praktik-praktik menyimpang lainnya.

Berharap pada ‘pemberi kerja’ (baca: negara/pemerintah) untuk memantaskan penghasilan yang lebih baik bagi pegawainya sepertinya agak ‘syulit’. Terkecuali untuk kementerian atau pemda tertentu yang punya privilege khusus sehingga punya penghasilan sultan. Kita kenal mereka dengan ‘Kemensul’ (baca: Kementerian Sultan) dan ‘Pemdasul’ (baca: Pemerintah Daerah Sultan). No offense. Jadi sisanya, yang ‘Kemenjel’ (baca: Kementerian Jelata) dan ‘Pemdajel’ (baca: Pemerintah Daerah Jelata) disuruh mikir sendiri bagaimana caranya biar sejahtera. Hal ini roman-romannya diamini oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN). Beliau dalam beberapa kesempatan mendorong ASN untuk berwirausaha dan tidak hanya mengandalkan gaji. "Baik Pak."

Perkenalkan, Joko, seorang ASN yang bertugas di salah satu daerah di Indonesia. Kisah beliau menjadi ASN dan usahanya untuk memperbaiki kehidupannya sudah semacam 'urban legend' di kantor tempat beliau bekerja dulu, menjadi inspirasi bagi rekan-rekan kerja beliau, termasuk saya. Joko muda, puluhan tahun yang lalu harus memutar otak, mengolah waktu dan tenaga untuk mencari penghasilan tambahan guna menambal gaji dari ASN yang sangat kurang. Jadilah Joko menanam seledri di polibag-polibag di pekarangan rumahnya yang ketika sudah panen dijajakannya dari warung ke warung untuk mendapatkan uang tambahan. Waktu terus berjalan, kehidupan mulai membaik ketika Joko muda mulai usaha dagang ayam ras yang DOC-nya didatangkan dari provinsi sebelah. Walaupun ini membutuhkan pengorbanan yang besar, salah satunya Joko harus terjaga ketika jam 2 atau jam 3 pagi stok ayam datang untuk dimasukkan ke kandang. Rupanya Joko tidak menyia-nyiakan waktu mudanya. Sembari usaha ayam ras yang semakin berkembang, Joko mengembangkan lagi usahanya ke bidang perkebunan sawit, sedikit demi sedikit lama-lama jadi juragan sawit.

Entah naluri untuk bertahan hidup atau gerah dengan kondisi yang pas-pasan atau alasan lainnya. Apapun motivasinya, itu berhasil membawa Joko berada di titik ini. Ketika penghasilan dari luar kantor (usaha) jauh berkali-kali lipat dibanding penghasilan rutinnya sebagai abdi negara. Bayangkan saja, ketika semua pegawai di kantornya menanti-nantikan gaji masuk setiap tanggal 1 atau kapan THR dan gaji ke-13 masuk, Joko bahkan tidak pernah mengecek rekening gajinya alias tidak pernah disentuh karena penghasilan dari usahanya sudah lebih dari cukup untuk membiayai hidupnya. Wow! Iya, wow!

Jadi wajar kalau Joko meminta ijin untuk pensiun dini di usia yang sudah kepala 5, supaya bisa lebih fokus mengurus bisnisnya. Jika saya di posisi Joko, mungkin saya pun akan mengambil keputusan yang sama. Sudah beberapa kali Joko mengajukan dan selalu ditolak oleh pimpinan karena merasa Joko masih dibutuhkan di kantor. Singkat cerita, beberapa saat berlalu Joko terkena penyakit yang lumayan parah yaitu saraf kejepit di bagian pinggang sampai kaki. Penyakit ini agaknya cukup serius yang membuat Joko harus berobat berkali-kali dan harus cuti sehingga tidak bisa masuk kerja dalam waktu lama. Melihat kondisi yang sudah terbatas untuk bekerja, Joko kembali mengajukan pensiun dini dan kali ini dikabulkan oleh pimpinan dengan alasan kemanusiaan. Jadilah Joko pensiun dini dari ASN setelah puluhan tahun mengabdi.

Lalu, sesuatu yang saya sebut dengan 'campur tangan Tuhan' terjadi. Tidak lama setelah Joko pensiun, penyakit Joko yang lumayan parah tadi sembuh! Joko kembali sehat! Kalau mau dibilang sakit tadi menjadi jalan untuk pensiun, saya pun tidak bisa membantah. Mungkin itu yang namanya takdir. Akhirnya, Joko sekarang di umur 50-an awal, masih produktif, memiliki kebun sawit puluhan hektar, usaha ayam ras yang termasuk besar di daerah ini, dan usaha-usaha lain yang saya tidak tahu. Saya rasa kata 'sejahtera' tidak cukup untuk menggambarkan nikmatnya hidup Joko sekarang. Setelah pensiun, Joko menghabiskan waktunya dengan mengurus usaha-usahanya tersebut. Beliau lah sang legenda hidup yang ingin kami ikuti jejaknya. Pensiun dini ketika usaha sudah bisa memberikan kebebasan finansial, sehingga masa tua bisa sejahtera. Setidaknya masih cita-cita kami. Mudah-mudahan tercapai.

Bagikan :