Teringat pengalaman tahun lalu saat mengurus dokumen kependudukan di salah satu kantor pemerintah. Antrean panjang, suasana panas, dan aroma kopi instan seolah menjadi teman setia. Datanglah seorang petugas sambil menepuk pundak saya sambil berkata, “Bisa lebih cepat kalau ada pelicinnya, Pak.” Ketika itu penulis terdiam bercampur kesal sambil menahan tawa getir. Momen itu sederhana, tapi menyengat. Korupsi telah menghancurkan moral, tatanan sosial, dan kepercayaan publik. Setiap berita operasi tangkap tangan muncul, kepercayaan masyarakat terhadap negara ikut luntur. Reformasi birokrasi sudah berlangsung lebih dari dua dekade, tetapi bayang-bayang korupsi masih saja menghantui. Indeks Persepsi Korupsi 2024 Indonesia berada di skor 37, menempati peringkat 99 dari 180 negara. Artinya, masyarakat masih skeptis terhadap integritas pelayanan publik. Di tengah kondisi ini, Aparatur Sipil Negara (ASN) memikul beban berat. ASN dituntut menjadi benteng moral yang tidak tergoyahkan. ASN wajib melayani publik tanpa kompromi dan transparan, serta aktif mendorong reformasi birokrasi.
Ekspektasi publik terhadap ASN sangat tinggi. Masyarakat ingin dilayani dengan cepat, transparan, dan jujur. Studi Yuliasmi dkk. (2020) menunjukkan kualitas pelayanan publik dan legitimasi negara bergantung pada integritas ASN. Kontribusinya bahkan mencapai 54,8 persen terhadap kepuasan masyarakat. Ketika ASN bersih, kepercayaan publik akan tumbuh dan citra birokrasi membaik. Kenyataannya, praktik pungutan liar, gratifikasi, dan suap masih dijumpai dalam aktivitas pelayanan publik. Survei Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) 2024 mencatat skor persepsi 3,76, turun dibanding tahun sebelumnya. Sebuah indikator yang merefleksikan rendahnya budaya antikorupsi di masyarakat. Kepercayaan publik menipis akibat trust deficit. Masyarakat berharap ASN menjadi teladan, tetapi celah birokrasi sering dimanfaatkan.
Penulis sempat bertemu seorang pegawai di salah satu kantor pelayanan publik yang menolak gratifikasi. Saat itu, seorang warga menawarkan “uang rokok” untuk mempercepat pengurusan dokumen. Pegawai itu menolak sambil tersenyum. Mungkin terlihat sederhana, tapi tindakan itu mengandung pesan bahwa integritas adalah harga mati. Nilai integritas ini harus dibekali sejak pendidikan usia dini, dan mesti dijaga lewat Diklat ASN. ASN harus memberi teladan moral, bukan mesin administratif. Tindakan sehari-hari bisa jadi contoh masyarakat.
Lantas, mengapa fenomena ini terus berulang? Teori Bureaucratic Oversupply Model memberikan penjelasan kritis. Birokrasi yang membengkak, struktur hierarkis, dan prosedur berlapis-lapis membuka celah penyalahgunaan wewenang. ASN seharusnya mempermudah urusan masyarakat, tetapi justru memperumit prosedur demi imbalan. Singkatnya, korupsi bukan lagi persoalan moral individu, melainkan desain sistem yang rentan disalahgunakan. Rumitnya birokrasi menciptakan celah yang mudah dimanfaatkan. Sanksi saja tidaklah cukup. Reformasi birokrasi, pemangkasan prosedur, dan digitalisasi layanan publik harus menjadi prioritas.
Namun, pencegahan yang sifatnya kultural tidak boleh dilupakan. Birokrasi diibaratkan tubuh negara dan ASN bertindak sebagai sel-sel yang menggerakkannya. Tubuh ini bisa sehat jika setiap sel berfungsi dengan benar. Pendidikan antikorupsi di kalangan ASN menjadi strategi jangka panjang yang mutlak diperlukan. Pendidikan antikorupsi adalah kompas moral ASN dalam setiap keputusan etis.
Harus Dicegah
Lalu, bagaimana strategi pencegahannya? Langkah pertama adalah integrasi sistem digital antikorupsi berbasis ethical algorithm. Bayangkan Indonesia bisa memiliki portal nasional yang menghubungkan semua data keuangan, kontrak pengadaan, hingga jejak digital pejabat publik. Tidak akan ada lagi ruang abu-abu karena setiap proses otomatis tercatat dan diawasi algoritma. Algoritma makin akuntabel karena diaudit lembaga independen. Sistem ini memberi sinyal sebelum terjadinya transaksi mencurigakan. Artinya, kita tidak lagi bertindak setelah uang negara raib, tetapi menutup kebocoran sejak dini.
Keunggulan sistem ini terletak pada transparansinya. Setiap rupiah dalam APBN maupun APBD dapat ditelusuri jejak digitalnya. Setiap kontrak pengadaan dapat dibandingkan dengan standar harga pasar. Dan setiap transaksi pejabat publik dapat dipetakan polanya. Sehingga praktik mark up, permainan proyek, atau aliran dana tidak bisa lagi bersembunyi di balik birokrasi.
Akan tetapi, teknologi sehebat apa pun akan lumpuh tanpa revolusi etika. Zero Tolerance berbasis Merit System jadi solusi. Setiap rekrutmen, promosi, dan penempatan jabatan ditentukan oleh kompetensi, kualifikasi, prestasi, serta integritas. Penghargaan dan sanksi diberikan secara adil sesuai kinerja. Tidak boleh ada tempat untuk kedekatan pribadi, politik, nepotisme, atau kolusi. ASN yang terbukti korup langsung diberhentikan dan masuk daftar hitam nasional. Rekrutmen ASN harus berbasis blockchain merit system agar transparan dan bebas manipulasi. Setiap tahun harus ada evaluasi integritas layaknya peringkat nasional. Karier birokrasi hanya untuk mereka yang punya integritas.
Birokrasi bukan tempat berlindung bagi pelaku korupsi, melainkan arena pengabdian berintegritas. Blacklist nasional akan menutup peluang berpindah instansi atau kembali ke jalur politik praktis. Transparansi rekrutmen berbasis blockchain menjadi tameng agar jabatan berdasarkan kompetensi dan rekam jejak. Evaluasi integritas menciptakan iklim persaingan sehat antar-ASN agar berlomba menjaga nama baik dan tidak mencari celah memperkaya diri. Hanya ASN bersih yang bisa bertahan.
Strategi berikutnya Whistleblowing System (WBS) berbasis partisipasi publik. Rakyat diberi ruang untuk mengawasi birokrasi. Dashboard transparansi memungkinkan masyarakat, jurnalis, dan akademisi untuk menilai kinerja layaknya memberi ulasan di aplikasi layanan. AI (artificial intelligence) akan menyaring aduan warga dan menyingkirkan laporan palsu. Aduan serius diprioritaskan untuk ditindak.
Setiap warga dapat menjadi mata dan telinga publik yang tidak mudah dibungkam. Mekanisme ini menutup ruang kompromi politik. Sistem filter berbasis AI memastikan suara rakyat tidak tenggelam dalam tumpukan birokrasi. WBS menumbuhkan budaya malu bagi pejabat yang lalai. Mengingatkan bahwa kekuasaan wajib diawasi rakyat dan demi rakyat.
Kita ingin birokrasi bersih bukan karena takut ditangkap, tetapi karena integritas. Korupsi bukanlah takdir. Ini hanyalah kebiasaan buruk yang diwariskan dan dibiarkan. Lewat regulasi tegas dan komitmen menjaga integritas, kita bisa menghentikannya. Tugas ini tidak bisa ditunda dan harus dimulai sekarang.