ASN sebagai Pelayan Masyarakat: Adaptif dan Kritis di Tengah Tantangan

Gambar sampul ASN sebagai Pelayan Masyarakat: Adaptif dan Kritis di Tengah Tantangan

Hari-hari belakangan ini, isu mengenai efisiensi anggaran negara yang diatur oleh Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja negara dalam pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 menjadi perbincangan di kalangan masyarakat luas, apalagi di lingkungan ASN. Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), tentunya kebijakan ini terasa begitu dekat dengan keseharian karena berkaitan langsung dengan bagaimana ASN bekerja, mengelola program dan kegiatan, serta menjalankan layanan publik dengan sumber daya yang semakin terbatas.

Terbersit pula pertanyaan, bagaimana dampaknya terhadap operasional instansi? Apakah kesejahteraan pegawai tetap diperhatikan? Bagaimana pula dengan efektivitas layanan publik yang selama ini bahkan sudah menjadi sorotan di tengah masyarakat? Tentunya banyak kekhawatiran yang menyelimuti. Namun di sisi lain, momentum ini juga dapat menjadi refleksi tentang kegiatan birokrasi di negara kita, sejauh mana kita dapat bersikap adaptif dan inovatif dalam setiap kebijakan yang diambil oleh para penentu kebijakan di negeri ini.

Kinerja optimal di tengah efisiensi

Sebagai seorang ASN, kita dapat mengembalikan makna terhadap pekerjaan yang sedang kita jalani sebagai seorang ASN yang acap kali dipadankan dalam bahasa Inggris menjadi civil servant. Pemaknaan sebagai servant alias pelayan ini akan berdampak pada standar kinerja yang kita terapkan kepada siapa yang dilayani, yaitu masyarakat. Sebagai, katakanlah, pelayan masyarakat, kita dituntut memahami bahwa di tengah kondisi seperti apapun, kita tetap harus memberikan pelayanan terbaik dengan kinerja yang optimal.

Untuk mencapai kinerja optimal, banyak faktor yang dapat dipertimbangkan. Pertama, terkait motivasi diri. Kembali lagi, melayani masyarakat harus dilihat sebagai bingkai besar dalam melaksanakan pengabdian yang dapat memotivasi. Selain itu, juga bagaimana kita menanamkan growth mindset yang memungkinkan kita untuk terus berkembang. Memang, efisiensi yang terjadi kali ini lebih disebabkan oleh kebijakan yang telah dirancang, bukan sesuatu yang sifatnya eksternal dan tidak dirancang yang menuntut kita beradaptasi dengan cepat seperti saat dilanda kasus Covid-19 ataupun saat terjadi krisis politik yang menjadi tonggak reformasi. Namun, disitulah kita dapat melakukan refleksi bahwa kejadian yang terjadi tanpa diduga saja dapat membuat kita dengan cepat beradaptasi. Mengapa kita tidak bisa melakukannya pada suatu kejadian yang sebenarnya masih dapat kita antisipasi dengan matang?

Kedua, ada peluang bagi kita untuk merefleksikan cara kita memanajemen waktu. Sebagai ASN, kita bukan hanya berperan menjadi abdi negara, namun juga sebagai pasangan, orangtua, anak, dan sebagainya. Dengan dibatasinya kegiatan-kegiatan seremonial yang menguras energi, kita dapat mencurahkan waktu lebih untuk orang lain yang mempunyai hak terhadap kita. Tentang bagaimana bisa lebih mencurahkan perhatian terhadap tumbah kembang anak-anak, memperhatikan kebutuhan pasangan kita, pun lebih banyak memahami orangtua yang mungkin sudah semakin menua. Apalagi untuk ASN yang mendapatkan kesempatan bekerja dari mana saja (work from anywhere / WFA). Manajemen waktu yang baik dengan berbagai peran agaknya mampu mendorong kerja-kerja kita optimal di tengah efisiensi.

Ketiga, kita juga punya tanggungjawab terhadap kesehatan fisik dan mental pribadi kita. Dengan segala efisiensi dalam pekerjaan, tentunya kita dituntut untuk mengatur kembali prioritas dalam pekerjaan kita. Pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya tidak substansial tentu dapat kita pertimbangkan kembali. Dengan begitu, beban kerja dapat dikurangi yang diharapkan berdampak pada kesehatan fisik dan mental kita yang membaik di tengah berkurangnya tekanan. Pekerjaan yang menjadi prioritas kita pun dapat menghasilkan keluaran yang optimal.

Terakhir, ini juga dapat menjadi kesempatan untuk mengembangkan kompetensi dan keahlian yang mungkin banyak terhambat ketika disibukkan dengan rutinitas pekerjaan sehari-hari. Seiring dengan peluang pengembangan diri yang semakin terbuka dan juga pekerjaan-pekerjaan sampingan yang makin banyak ragamnya, ASN punya kesempatan untuk membangun portofolio di dunia yang mungkin tidak selalu linier dengan pekerjaan utama selama tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Harapannya, keterampilan kita dapat membuka sumber penghasilan lainnya. Pun juga dapat mempersiapkan kehidupan pasca ASN. Lebih baik lagi jika keterampilan tersebut juga dapat digunakan dalam menunjang kerja-kerja yang kita lakukan sebagai ASN.

Tetap kritis terhadap kebijakan

Sebagai ASN yang profesional, kita memiliki tanggung jawab untuk memahami, mengkaji, dan memberikan masukan terhadap kebijakan yang diterapkan, termasuk kebijakan efisiensi anggaran. Hendaknya, kebijakan yang diambil tetap memperhatikan kesejahteraan pegawai dan efektivitas layanan publik.

Ukuran kesejahteraan pegawai dapat dinilai dari hal material maupun non material. Dalam hal material misalnya, jangan sampai terjadi pemotongan dalam belanja pegawai yang akan memberikan dampak signifikan pada ASN. Sedangkan dari sisi yang non material, Kesehatan mental dan work life balance juga mesti mendapatkan perhatian. Misalnya, jangan sampai karena fleksibilitas dalam bekerja dengan konsep WFA malah mengaburkan batas antara kehidupan pribadi dengan pekerjaan sehingga tidak ada kontrol atas pembagian waktu di antara keduanya. Hal ini dapat menyebabkan terganggunya work life balance dan jika tidak segera diatasi akan mengganggu kesehatan mental seseorang. Teknologi juga mestinya hadir untuk membantu pekerjaan manusia, bukan malah menjadi alat untuk membebani dengan target-target yang semakin banyak dengan dalih sudah dibantu teknologi.

Selain itu, efisiensi dalam pemerintahan sendiri bukan hanya berbicara pada ranah anggaran, namun tak kalah penting yaitu efisiensi kebijakan. Pemangkasan prosedur yang berbelit, penyelarasan kebijakan yang tumpang tindih, kolaborasi antar lembaga pada kegiatan dengan tujuan yang sama, pemanfaatan data, serta digitalisasi layanan adalah beberapa isu yang perlu diangkat.

Kritisisme ini dapat disalurkan dalam berbagai bentuk, seperti menyampaikan masukan melalui forum resmi, diskusi internal di lingkungan kerja, ataupun melalui kanal yang memang disediakan untuk partisipasi ASN. Jika terdapat kebijakan yang berpotensi menghambat kinerja, ASN harus mampu mengidentifikasi kendala yang muncul dan menawarkan solusi yang inovatif. Hal ini penting agar efisiensi anggaran tidak hanya menjadi pengurangan belanja semata, tetapi juga diimbangi dengan optimalisasi proses kerja dan inovasi dalam pelayanan.

Selain itu, kebijakan yang diterapkan harus dipastikan tetap berorientasi pada kepentingan masyarakat sebagai penerima manfaat utama layanan publik. Dengan demikian, efisiensi tidak hanya sebatas pemotongan anggaran, tetapi juga dapat menjadi momentum reformasi birokrasi yang lebih baik ke depannya.

Bagaimana ASN ke depannya?

Pada dasarnya ASN saat ini dihadapkan pada era baru efisiensi anggaran pasca keluarnya Inpres Nomor 1 Tahun 2025. Jangan bayangkan bahwa proses ini adalah sesuatu yang akan berlalu, namun lebih baik bersiap diri untuk perubahan ke depannya. Peristiwa ini tidak hanya membawa tantangan, namun juga peluang yang harus bisa dimanfaatkan. Daya kritis tetap perlu dijaga agar perubahan ini berada di jalur yang benar dan menuju ke arah pemerintahan yang betul-betul menjalankan efisiensi dengan tepat sasaran dan mereformasi birokrasi. ASN dengan tetap berlandaskan pengabdian harus senantiasa beradaptasi menuju perubahan yang lebih baik, baik bagi diri sendiri, instansi, maupun masyarakat yang dilayani.

 #NulisSembariDinas
#EfisiensidanAdaptasi

Bagikan :
Tag :
-