Ada momen di setiap tahun yang selalu membuat kita berhenti sejenak dari rutinitas duniawi. Momen itu bernama Ramadhan. Ia datang tanpa pernah telat, membawa suasana damai, haru, sekaligus peluang untuk membenahi hati yang mungkin telah lama keruh oleh debu kehidupan.
Sebagai aparatur sipil negara, kita tentu terbiasa menjalankan tugas dengan target dan capaian. Tapi Ramadhan mengajarkan sesuatu yang berbeda—ia mengajarkan kita untuk "menjadi", bukan sekadar "melakukan". Menjadi pribadi yang lebih jujur, lebih lembut, lebih peduli. Bukan hanya di meja kerja, tapi terutama di ruang batin yang kerap kita abaikan.
Bayangkan Ramadhan sebagai sebuah undangan istimewa dari Tuhan kepada hamba-Nya. Undangan untuk kembali pulang ke dalam diri, menyelami makna hidup, dan memperbaiki arah tujuan. Tapi, seperti undangan di dunia nyata, respon manusia pun berbeda-beda.
Ada yang datang dengan penuh semangat—mereka ini yang menanti Ramadhan seperti anak kecil menunggu hadiah. Ada pula yang hadir, tapi hanya jasadnya, sementara hatinya masih sibuk dengan hal lain. Lalu, ada juga yang memilih tak datang sama sekali. Mungkin karena hatinya sudah terlalu asing dengan rasa rindu pada Tuhan.
Lalu, kita berada di mana?
Jawabannya hanya kita yang tahu. Tapi satu hal pasti: Ramadhan tak sekadar datang untuk disambut, tapi untuk ditinggali dalam hati, bahkan setelah ia pergi.
Ketika Ramadhan berakhir dan kita memasuki Syawal, banyak dari kita merasa seperti selesai dari sebuah misi besar. Padahal, Syawal bukan garis akhir—ia justru titik awal. Ibarat logam yang ditempa panas, kita berharap karat-karat dosa luruh, dan yang tersisa adalah logam murni yang siap digunakan untuk hal-hal berharga.
Ramadhan sejatinya bukan transformasi sesaat, tapi metamorfosis jangka panjang. Jika seekor ulat bisa berubah menjadi kupu-kupu setelah melalui proses yang menyakitkan, haruskah manusia tetap menjadi ulat setelah melalui Ramadhan?
Undangan Ilahi yang Tak Semua Orang Sambut
Pertanyaannya: bagaimana cara menjaga nilai-nilai Ramadhan agar tak hilang begitu saja?
Jawabannya ada pada warisan kearifan lokal yang masih relevan hingga kini: Tombo Ati—lima resep sederhana merawat hati, ciptaan Sunan Bonang yang penuh makna. Bukan sekadar tembang Jawa, tapi panduan spiritual untuk mereka yang ingin jiwanya tetap hangat dalam pelukan keimanan, sepanjang tahun, bukan hanya sebulan.
Mari kita resapi satu per satu:
Sebagai ASN, kita adalah pelayan masyarakat. Tapi kita juga dituntut menjadi pelayan hati sendiri. Ramadhan telah mengajarkan keikhlasan, kerja diam-diam, serta ketulusan—nilai-nilai yang seharusnya menjadi karakter dalam tugas sehari-hari.
Ketika kita menjaga nilai-nilai Ramadhan, kita tak hanya membangun karakter pribadi, tapi juga memperkuat integritas sebagai aparatur negara. Dunia birokrasi seringkali keras dan penuh tekanan, namun Ramadhan dan nilai-nilainya memberi ruang bagi kelembutan untuk tetap hidup.
Ramadhan telah berlalu, tapi bukan untuk dilupakan. Ia meninggalkan bekas bagi mereka yang hadir dengan hati. Dan jika kita mampu menjadikan Tombo Ati sebagai suplemen harian, maka nilai-nilai Ramadhan tak akan hilang ditelan waktu.
Kini, saatnya bertanya pada diri sendiri: apakah kita hanya menjalani Ramadhan, atau membiarkannya hidup dalam diri kita?
Karena sejatinya, yang paling penting bukan berapa banyak ibadah kita selama sebulan, tapi apakah kita berubah menjadi lebih baik setelahnya. Semoga..