Di negeri birokrasi yang sakral ini, mengkritik sistem dari luar saja sudah dianggap nyinyir. Apalagi kalau yang mengkritik itu bagian dari dalam? Wah, bisa-bisa dicap durhaka pada rekan sejawat, pembangkang organisasi, atau lebih parah: tidak loyal pada grup WhatsApp! Karena di lingkungan ASN, budaya "tidak enakan", "asal bapak senang", dan "yang penting selamat sampai pensiun" seringkali lebih dihargai daripada keberanian berkata benar. Maka tak heran, suara kritis sering kali bukan dijawab dengan argumen, tapi dengan senyuman manis yang artinya: awas ya, kamu dijauhi habis ini.
Di banyak negara, suara-suara dari dalam sistem biasanya menjadi motor perubahan. Tapi di republik birokrasi kita tercinta, suara seperti itu lebih sering jadi motor yang mogok bukan karena mesinnya rusak, tapi karena dikelilingi oleh orang-orang yang takut kalau suara itu nyalanya terlalu terang.
Seorang ASN yang mencoba menyampaikan kritik, apalagi tentang budaya kerja, tata kelola, atau kebijakan internal, sering kali harus bersiap menjadi bulan-bulanan. Bukan oleh publik, tapi oleh rekan-rekan sendiri yang merasa terganggu. “Kok kamu ngomong gitu, nanti atasan tersinggung loh,” atau versi lainnya, “tidak loyal”, atau “sok idealis”.
Karena di sini, “loyal” lebih sering diukur dari seberapa sering kamu menyukai unggahan pimpinan di media sosial, bukan dari seberapa besar kontribusimu memperbaiki pelayanan publik. “Kompak” artinya seragam diam, bukan saling mengingatkan. “Profesional” berarti patuh, bukan kritis. Dan tentu saja, “berintegritas” itu opsional, yang penting jangan bikin keributan.
Budaya “tidak enakan” jadi pagar tak kasatmata yang tinggi menjulang bak tembok Cina di kantor-kantor pemerintahan. Kita lebih takut membuat orang tersinggung daripada membiarkan kesalahan terus berulang. Kritik dianggap serangan, bukan masukan. Umpan balik malah ditafsir sebagai pengkhianatan.
Dan jangan lupakan satu media yang menjadi pengadilan paling efektif dalam sistem ini: grup WhatsApp kantor. Di sana, kritik bisa dijadikan bahan diskusi panjang, bukan untuk menyelesaikan masalah, tapi untuk membahas bagaimana orang yang mengkritik itu kurang ajar, terlalu keras, atau “sok idealis kayak baru PNS kemarin sore.”
Citra yang kemudian menempel kepada si pengkritik pun tak kalah mengerikan. Ia bisa dianggap tidak bisa diajak kerja sama, bikin suasana kerja jadi tidak nyaman, bahkan bisa dituduh “berbahaya.” Satu suara yang mencoba mengganggu keseimbangan semu ini, pelan-pelan akan dijauhkan. Mulai dari tidak diajak rapat informal, hingga tiba-tiba tidak dimasukkan dalam susunan tim kerja berikutnya. Semua dilakukan dengan cara halus, senyap, dan tentu saja, tetap ramah. Karena wajah birokrasi kita harus selalu tersenyum.
Ironisnya, budaya semacam ini hidup di tengah gembar-gembor reformasi birokrasi, akuntabilitas, dan digitalisasi pelayanan. Kita punya rencana strategis yang penuh jargon hebat, tapi lupa menyediakan ruang yang sehat bagi kritik internal. Kita dorong inovasi, tapi pelan-pelan bunuh diskusi yang tidak menyenangkan.
Padahal, perubahan justru datang dari orang-orang yang masih cukup peduli untuk bicara. Mereka yang berani mengkritik sistem dari dalam bukan sedang menyerang, tapi sedang menunjukkan bahwa mereka masih punya harapan. Mereka adalah alarm moral di tengah rutinitas yang membuat semua terasa biasa saja, padahal banyak yang tidak beres.
Mungkin sudah saatnya kita bertanya: mengapa keberanian untuk bersuara masih dianggap gangguan? Mengapa lebih mudah menerima pujian palsu daripada kritik tulus? Dan mengapa, dari semua hal yang kita takutkan sebagai ASN, kita paling takut pada satu hal ini: membuat orang lain tidak nyaman, meskipun itu demi kebaikan?
Jadi, kalau Anda ASN dan sedang berpikir untuk menyampaikan kritik membangun, pastikan Anda sudah siap: bukan hanya dengan argumen, tapi juga dengan perasaan. Karena yang Anda lawan bukan cuma kebijakan yang keliru, tapi juga jaringan halus relasi sosial yang dibungkus “kekompakan” dan “etika kerja” yang terkadang lebih kuat dari peraturan itu sendiri.
Selamat berjuang. Jangan lupa senyum. Karena di sini, bahkan diam pun harus tetap terlihat ramah.