Berawal dari renungan ke diri sendiri: “apa sih sumbangsih saya sebenarnya selaku ASN yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat umum atau publik?.” Saya renungkan, ternyata tidak ada. Bukan tidak ada sumbangsihnya, tapi tupoksi saya memang tidak berkaitan dengan pelayanan langsung ke masyarakat umum. Customer yang saya layani adalah sesama ASN, yaitu terlibat dalam desain program pelatihan untuk ASN dan melayani penyelenggaraan pelatihan untuk ASN. Sejauh ini, selama 10 tahun terakhir berkarir sebagai ASN, sepanjang kaitannya dengan pelayanan terhadap customer yang sama-sama ASN, saya telah berusaha sebaik-baiknya memberikan pelayanan. Karena meskipun 3 tahun terakhir saya menduduki jabatan fungsional tertentu, pekerjaan saya 80% nya tetap pekerjaan teknis: melayani orang. Indikator rating penilaiannya adalah feedback dari peserta pelatihan yang saya pernah layani, ada datanya, termasuk data kualitatifnya seperti komentar dan tanggapan dari para peserta pelatihan tersebut.
Dulu, sekitar tahun 2018-an, ketika saya masih ada perasaan “saya tidak berguna” atau “sejatinya saya tidak memberikan kontribusi yang benar-benar berguna bagi publik”, maka saya memikirkan kegiatan apa yang kontribusi saya itu bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Nah, ketika saya mendapatkan ilham (aha moment) dimana kesadaran peduli lingkungan di sekitar kita begitu rendah, di situlah saya mencoba beraktualisasi atau ingin berkontribusi lebih ril. Kita memang perlu muluk-muluk dan idealis, seperti revolusi industri 5.0 lah, digitalisasilah, IoT lah, Metaverse lah, Indonesia emas lah, karena narasi itu bisa membangun optimisme dalam diri, tapi kita juga jangan lupa persoalan riil di depan mata, karena disitulah posisi kita yang sebenarnya.
Dulu kita juga terbuai dengan jargon era tinggal landas, dan apa yang terjadi setelah 20 tahun dari ‘era tinggal landas’ itu?. Kita masih tetap tinggal di landasan. Ini sebenarnya kita...muluk, tapi aslinya ngurus sampah saja tidak mampu. Buktinya apa?. Negara maju itu tercermin dari cara mereka mengurus sampahnya, dan tidak perlu saya lanjutkan perbandingannya, cukup tst (tahu sama tahu).
Itu saya coba ikuti riset orang-orang, dan coba melakukan tindakan kecil-kecilan. Problem persampahan itu, sumber utamanya di hulu, di kita. Kita tidak pernah memilahnya sejak dari sumber, sejak dari rumah kita. Kita campur, kita blend itu sampah organik dan sampah non organik. Buang negitu saja, setelah itu bodo amat, urusan orang lain, wong saya udah bayar iuran sampah. Fakatnya, sampah yang tercampur dari hulu ini, ternyata menyusahkan orang yang mengurusnya di hilir, memilah kembali butuh tenaga, butuh waktu dan butuh alat dan mahal. Makanya proses yang paling ringkas adalah buang dan timbun semuanya di TPSA, bodo amat dengan pencemaran dan ekses-ekses lainnya. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, kontribusi kita sama seperti itu memperlakukan sampah, dan penduduk kita terus bertambah, sementara lahan untuk pembuangan sampahnya segitu saja, jadi sederhannya begitulah bencana dari kontribusi kita itu muncul. Atas logika sederhana itulah para aktivis peduli lingkungan mengkampanyekan pilah sampah dari rumah, pisahkan minimal dua kategori besar: wadah sampah untuk sampah organik dan wadah sampah untuk sampah non organik. Saya malah membaginya menjadi 3 wadah: 1. wadah sampah organik dan untuk sampah non organik dibuat 2 (dua) kategori lagi, yaitu 2. (wadah) sampah non organik yang bisa didaur ulang dan 3. (wadah) sampah non organik yang tidak masuk kategori sampah daur ulang.
Ternyata menurut riset, kontribusi terbesar sampah itu 60% nya adalah jenis sampah organik, baru sisanya adalah sampah non organik. Jadi kalau kita bisa mengolah sendiri yang 60% itu, maka itu akan akan membantu menyelesaikan problem bersama kita. Yang sudah dan masih lanjut saya lakukan adalah mengubah sampah organik rumah tangga atau yang lebih populer dengan sampah organik dapur (SOD) menjadi pupuk organik tanaman. Dulu sebelum mengenal teknologi biokonversi maggot (Black Soldier Fly), saya menggunakan EM4 Pertanian untuk memfermantasi air cucian beras (leri) sehingga cairan fermentasi leri tersebut dapat mempercepat proses penguraian sampah organik di Composting Bag (tempat khusus sampah organik).
Ketika saya melakukan proses composting sampah rumah tangga sendiri, tiba-tiba alogaritma searching saya mengarah ke teknologi bio konversi sampah dengan Black Soldier Fly (BSF). Dari sinilah saya memulai petualangannya, ternyata dengan teknologi biokonversi BSF, proses penguraian sampah organik menjadi pupuk menjadi lebih cepat, dan tentu saja ada hal lain yang lebih menarik perhatian (nanti pada bagian berikutnya saya uraukan lebih lanjut).
Ini sebagai contoh kecil saja, bagimana saya berhasil mengolah sendiri sampah organik rumah tangga (SOD) sendiri menjadi pupuk tanaman cabe dan tanaman saledri yang hijau subur.
Berkenalan dengan Teknologi Biokonversi Black Soldier Fly (BSF)
Saya sudah menuliskannya dan membagikannya di beberapa Grup WA, salah satunya di Grup WA Forum Warga (Grup RT), saya share di sana dengan maksud agar pengetahuan itu tidak hanya di saya, tapi menyebar minimal ke skala RT. Karena kalau yang sadar cuma sendirian atau cuma beberapa orang, ya tidak akan besar kontribusinya terhadap pengurangan masalah lingkungan, harus menjadi kontribusi kolektif, budaya bersama. Bagaimana teknologi biokonversi BSF itu, dapat disimak pada tautan berikut: https://s.id/25fP4 . Atau tulisan lepas saya yang lebih lengkap pada tautan berikut: https://s.id/25fOp .
Menjadi Pengurus RT
Ketika tahun 2023 lalu, di lingkungan tempat tinggal saya ada pemilihan pengurus RT baru, saya menawarkan diri pada satu bidang yang sebelumnya belum pernah ada yang mengisi tahun-tahun sebelumnya, Koordinator Bidang Kebersihan dan Lingkungan. Maksud saya sebenarnya apa yang saya lakukan dalam skala rumah tangga bisa direplikasi di tingkat RT. Waktu masuk struktur kepengurusan itu, yang saya lakukan di rumah baru memisahkan sampah menjadi 2 wadah saja, organik dan non organik, dan berusaha mengolah mandiri sampah organiknya, sehingga yang dibuang ke truk sampah itu cuma sampah non organik saja. Tapi setelah berdiskusi dengan warga, kemungkinan susah untuk mengolah mandiri sampah organiknya dalam skala RT, banyak hal yg perlu dipikirkan seperti lahan, tenaga, dan ekses-ekses lain yang kemungkinan muncul seperti bau dan pencemaran. Warga memberikan masukan lebih baik olah saja sampah daur ulang warga, dikolektif dan dijual, tempatnya ada Rumah Kosong, itu lebih profitable atau akan menghasilkan untuk kas RT. Akhirnya, saya menjadi mengurus sampah daur ulang warga, mengumpulkan, memilah, dan menjualnya, sesuatu yang saya tidak terbersit sebelumnya. Dan sejak itu di rumah saya jadi ada 3 wadah sampah: 1. wadah sampah organik (ember kecil dan plastiknya), 2. wadah sampah daur ulang (karung yang digantung), dan 3. wadah sampah non organik (keranjang sampah dan plastiknya).
Setidaknya sampai bulan September 2023 tahun lalu, sebelum saya diminta menjadi sekretaris RT karena sekretaris RT sebelumnya mengundurkan diri karena mau fokus studi doktoral, saya mendokumentasikan kegiatan olah sampah daur ulang bersama warga di sini: https://s.id/25fTp .
Hasil dari penjualan sampah daur ulang telah membantu berkontribusi misalnya pada kegiatan perluasan bangunan Pos Keamanan RT, sehingga lebih representatif:
Olah sampah daur ulang memang lebih cepat menghasilkan uang daripada mengurusi sampah organik, tetapi misi saya tentang pengolahan sampah organik - karena ini problem utamanya- mudah-mudahan tidak terdistraksi oleh hal ini.
Sebenarnya ada beberapa hal yang menjadi semacam tantangan ketika saya terlibat oleh sampah daur ulang di tingkat RT ini misalnya, dari sisi sarpras, belum punya kendaraan operasional untuk mengangkut sampah daur ulang warga ke rumah kosong tempat pool. Selama ini masih menggunakan kendaraan pribadi, atau mengandalkan warga saja yang mau buang sampah daur ulang ke pool. Tempat pool/Rumah Kosong juga butuh perawatan dan penjagaan, jadi tidak asal memakai, karena walau pun tidak diisi, tetap masih ada kepemilikan orangnya. Dari sisi SDM juga, karena belum ada orang yang khusus dihire untuk fokus mengelola ini. Jika iuran RT dinaikan atau cost sharing dengan pengurus Mushola untuk menghire khusus tenaga kebersihan, nampaknya ide tersebut masih perlu dibicarakan lebih lanjut. Tantangan berikutnya adalah distraksi orientasi, karena kalau dari sisi ekonomi, mengurus sampah daur ulang lebih cepat menghasilkan returnnya dibanding mengurus sampah organik. Biar lebih menarik, misinya perlu diupdate misalnya, bahwa income dari penjualan sampah daur ulang warga itu sebaiknya digunakan untuk infrastruktur sosial. Uangnya itu disimpan dalam aset seperti mini gold, sebagai benteng sosial, jadi kalau ada warga yang butuh kepepet, jangan ke pinjol atau rentenir, pinjam saja mini gold ke bank sampah RT, nanti balikinnya dalam bentuj mini gold sebanyak yang ia pinjam. Itu lebih sehat, ketimbang terjerat pinjol atau rentenir.
Kenyataannya, di lingkungan di mana saya tinggal masih banyak warga yang perlu dibantu, data mustahik zakat, data anak-anak yatim baik se-RW (14 RT) dan lingkungan RT ada data riilnya. Itu tidak mungkin saya tahu, jika saya tidak terlibat dalam kepengurusan warga.
Video Kegiatan Buka Puasa Bersama Warga RT: https://s.id/25g6P , dan aktivitas di lingkungan warga menjelang Idul Fitri 1445 H lalu.