Oleh : Je_Osland (ASN Gol_R)
“Jika engkau bukan anak seorang Raja, dan bukan anak seorang ulama besar, maka Menulislah!!!”
Tulisan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thus asy Syafi' atau yang lebih dikenal dengan nama pena Imam Al Ghazali diatas penulis temukan pada sebuah penggalan kliping di mading sekolah tingkat pertama puluhan tahun lampau. Tulisan tersebut seperti menghardik kerangka otak penulis, jika menjadi dan berlaku besar dapat memanfaatkan narasi yang tersembur dari lemari otak melalui tulisan. Manakala penulis mulai berani bermain pada ranah literasi, penulis seperti semakin dirayu oleh buaian syair yang meletup-letup dari ruas buku Kahlil Gibran. Bongkahan syairnya serupa tetesan ranu yang membasahi kerontangnya jiwa muda, seperti memantik setiap pori agar berani mengais molekul-molekul gramatika cinta. Yah, cerita muda mentah usia yang dibayangi oleh buncahan-buncahan buah karya para filsuf serta novelet-novelet dunia. Keflamboyan tulisan Buya Hamka dengan menghidupkan bahasa-bahasa ibu juga turut mengarahkan gaya penulisan penulis dengan mengIndonesiakan bahasa-bahasa Minangkabau. Pada akhirnya penulis berkesimpulan bahwa menulis merupakan wujud dari pemuntahan belenggu pemikiran. Pengejawantahan dari merdekanya inspirasi.
Dilain soal, ada bentangan limitasi yang bertolak belakang dengan onggokan narasi diatas. Dimana narasi-narasi penulis juga dipengaruhi oleh filsafat-filsafat pembangkangan, karena penulis terlahir dan dialiri darah dari seorang yang lantang menentang kedigdayaan Orde Baru. Seorang politikus kampung yang setia mengkritisi tirani kekuasaan Orde Baru, yang memandang kekuasaan kala itu sebagai oligarki yang harus dihapus dari proses demokrasi dalam berbangsa. Diamankan aparat saat hari pemungutan suara, dan dilarang berkegiatan dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan adalah perioderisasi yang saban hari penulis saksikan. Puncaknya, pada peristiwa Mei 1998, kami yang kebetulan merantau ke tanah Jayakarta beliau seret ke depan gedung DPR/MPR untuk menyaksikan kekuasaan Tiga Puluh Dua Tahun itu runtuh, sembari berkaca-kaca beliau memekik lantang "Nak! Tirani itu telah runtuh, kesempatan kita berbuat yang terbaik bagi bangsa ini akan nganga menyala, Maka, Naik an lah Takok Tingga Nagari Kito!". Tragedi 98 seperti mengeuforiakan idealisme-idealisme beliau yang selama ini dikungkung mati. Masih lekat teringat, kami berhimpun dengan kawanan para pendemo untuk menjarah toko-toko yang ada diseputaran Slipi Jaya, hingga untuk pulang ke rumahpun kami harus berjalan kaki dari kawasan Slipi menuju Kebon Jeruk karena chaosnya kondisi saat itu. Juga membayang kenang, esoknya kami harus melarikan 1 unit Televisi 32 inci kearah Puncak yang didapat kakak penulis dari demonstrasi-demonstrasi yang masif diseputaran Jakarta. Dentuman tapak sepatu para prajurit Tentara juga masih terngiang-terngiang tatkala mereka mensweeping rumah-rumah warga yang menyembunyikan hasil jarahan.
Setelah peristiwa 98, telinga penulis semakin akrab dengan kondisi politik negeri ini, Beliau semangat mengenalkan tokoh-tokoh politik yang kata beliau mampu menyajikan perubahan, sebut saja Sri Bintang Pamungkas dengan PUDInya, Megawati Soekarno Putri dengan PDI Perjuangan, Gusdur dengan keNUanya, Yusril Ihza Mahendra yang hampir saja menjadi Presiden kala itu, hingga beliau menjatuhkan pilihan politik ke ideologi politik Amien Rais yang menurut beliau adalah orang yang paling reformis pada peristiwa reformasi.
Yah... Peristiwa 98 jualah yang memulangkan kami dari tanah rantau, selain sulitnya perekonomian akibat dampak dari krisis moneter, beliau juga berpandangan jika Peristiwa 98 akan menyajikan ruang dan peluang yang lebih lapang dalam mengabdi bagi tanah kelahiran beliau. Hingga penulis juga harus rela meninggalkan bangku pemberi ilmu dipunggung TPU Karet Tengsin, meninggalkan Kopaja dengan segala ceritanya, meninggalkan gang-gang kecil sebagai pelarian dikala tawuran, meninggalkan SMP Galavan berlantai tiga, dan harus melanjutkan mimpi pada tuturan bangku pemberi ilmu pada gedung yang diapit kotak-kotak sawah di kampung halaman.
Peristiwa 98 sepertinya benar-benar mengubah jalan pengabdian beliau, beliau lebih akftif dalam mensukseskan program-program pemerintah, bahkan penulis acap kali menemukan undangan-undangan yang berbubuh: Kepada Yth. Bpk. Anas Nazar Malin Sati (Tokoh Reformasi). Perjalanan beliau jualah yang mendoktrin pemikiran penulis agar tidak mudah taat pada fenomena tersurat, namun otak kiri penulis dituntut untuk selalu mengunyah-ngunyah determinasi tersirat dari setiap jengkal peristiwa. Idealisme beliau juga mempengaruhi perjalan pencarian jati diri penulis, lebih tertarik dengan narasi-narasi yang dianggap kontroversi seperti tulisan-tulisan Tan Malaka yang dipandang sebagai tokoh kontroversial dalam sejarah Indonesia modern, namun bagi penulis banyak buah penanya yang melecut gairah menulis seperti Terbentur, Terbentur, Terbentur, Terbentuk! atau buku-buku yang beliau hasilkan sebut saja Madilog, Dari Penjara ke Penjara, Aksi Massa bahkan teriakan beliau kepada intel Belanda (viesbeen) saat pelariannya ke Hongkong, Tan Malaka berujar “Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, Suara saya akan lebih keras dari pada diatas bumi!”. Perjalanan pencarian jati diri penulis juga lebih terafiliasi dengan gerakan-gerakan kiri, tergabung dalam komunitas yang selalu menyerukan anti kemapanan, anti ketimpangan, anti militer dan gerakan-gerakan sosialis yang mencegah bangkitnya paham-paham atau ideologi yang mencederai tujuan bangsa. Alunan perlawanan yang diteriakan oleh Marjinal dan musik-musik yang hanya bisa didapat dari kaset-kaset indi lable lainnya juga turut mempengaruhi ideologi muda penulis dalam memandang negara ini. Puncaknya, pada satu masa tepatnya pada tahun 2003 penulis ditawarkan oleh Almarhum Ayahanda untuk mengabdi sebagai pegawai honor di Kelurahan tempat penulis berdomisili. Upaya penulis dalam membujuk logika muda saat itu adalah “Memerangi kebobrokan sistem bernegara dengan bergabung ke dalam Pemerintahan, sepertinya lebih menarik!”.
PEGAWAI HONOR, PEGAWAI HOROR!
Bukan hal mudah menjadi seorang pegawai honorer pada Instansi Pemerintahan, selain dipandang sebelah mata, menjadi pegawai honor berarti harus siap melalui kondisi-kondisi horor yang tersajikan, baik dari internal kantor maupun dari masyarakat sendiri. Bekerja dengan bayaran Rp.17.500,- perhari kerja tentu tidak akan mampu memenuhi kebutuhan harian. Namun semangat muda seperti tidak peduli dengan apa yang didapatkan, tidak jua menjadikan setiap pekerjaan berorientasi kepada materi. Namun menjadi sebuah kecanduan baru tatkala ikut andil dan mengetahui isu-isu yang terjadi ditengah masyarakat. Bertugas pada strata terendah pada sistem pemerintahan, menjadi sebuah tantangan baru bagi ideologi penulis. Bersua dengan permasalahan-permasalahan masyarakat, memuarakan segala ide kedalam mufakat hingga menempa penulis untuk lebih mencintai bangsa ini. Dari peristiwa-peristiwa horor yang penulis gayung sebagai pegawai honor, penulis seperti menemukan sebuah preferensi Jika menjadi abdi negara berarti memiliki tanggungjawab sosial dalam membangun energi bangsa ini. Menjadi pegawai pemerintahan tidak bisa dianalogikan dengan pegawai swasta yang hanya menjalankan tugas sesuai dengan tugas dan fungsi tertulis, menjadi pegawai pemerintahan berarti andil dalam berbagai permasalahan yang dihadapi negeri ini.
Ruang-ruang diskusi benar-benar seperti nikotin yang melekatkan candu kepemikiran penulis. Dalam sebuah tulisan, penulis pernah merangkum quote-quote perihal diskusi, diantaranya :
“Syarat diskusi agar tidak fals adalah memahami pola pikir lawan diskusi”.
“Satu hal yang menjadikan diskusi berekor lucu, manakala lawan diskusimu tak bertimbang pikir terhadap rentang juang yang akan dia tempuh”.
“Jika sebuah diskusi hanya akan menuai mudharat dibanding manfaat, maka diam adalah rumpun terbaik”.
“Klimaks dari diskusi itu adalah tidak melipat tangan dan mengangguk setuju terhadap muntahan argumentasi”.
“Paripurna ruang diskusi itu, bersitegang urat marikh untuk membentengi semburan idealisme”.
“Benarpun pancaran nalar rival diskusi, patahkan saja dulu. Selepas itu akan termuntahkan hipotesis-hipotesis baru”.
“Menatap mata objek diskusimu, esensinya seperti menghunus pedang dan menghujam jantungnya. Jika kau mampu, maka kau akan menjadi pemenangnya”.
Benar, Paripurna diskusi merupakan peperangan narasi yang akan memuntahkan hipotesis-hipotesis baru, Maka, orang yang terlatih dan terbiasa berdiskusi akan selalu ditawarkan pengelanaan ilmu-ilmu baru.
ASN ITU MENGHAMPAR TEDUH,
Hulu dari etika seorang ASN adalah moralitas, menjadi ASN berinterpretasi melayani atau berkonotasi “pelayan Masyarakat”. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, Pada Pasal 10 huruf b disebutkan bahwa salah satu fungsi ASN adalah pelayanan publik, dan pada Pasal 11 huruf b menjelaskan tugas ASN memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas. Jika kita melihat definisi pelayanan publik pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dalam Pasal 1 Angka 5 menyatakan “Pelaksana pelayanan publik yang selanjutnya disebut pelaksana adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja didalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik”. Maka, sederhananya setiap ASN adalah pelayanan bagi masyarakatnya. Definisi Undang-Undang ini yang belum “duduk” dalam benak ASN, sehingga kesan dilayani masih sering singgah dalam pengejawantahan pelaksanaan tugasnya.
Menjadi ASN berarti harus membiasakan segala laku dan perilaku dalam tatanan moralitas pada maqom tertinggi. Jika dikaitkan dengan Falsafah-falsafah Minangkabau terdapat peringatan yang sudah diatur dalam keistiadatan, lengkapnya ASN wajib mengamalkan “Kato Nan Ampek/Kata yang empat”, “Bajalan paliharo kaki, Mangecek paliharo lidah/ Berjalan pelihara kaki, berbicara pelihara lidah”. Jikapun tidak paham dengan nilai-nilai adat maka “Jan manjadi batuang ndak ba miang, jan manjadi bungo ndak baduri/ jangan menjadi bambu yang tak bermiang, usah menjadi bunga yang tak berduri”. Representasi ASN dalam Pitaruah Adaik dapat digambarkan dalam falsafah berikut :
Pagawai nagari handaknyo,
Nan capek kaki ringan tangan,
Alun disuruah inyo alah pai,
Alun diimbau inyo alah datang.
Nan bahati suci bamuko janiah,
Nan bamato nyalang talingo nyariang,
Mamakai usuah jo pareso,
Tahu disumbang jo nan salah.
Parik paga dindiang nan kokoh,
Ma ampang lalu ka subarang,
Mandindiang sampai kalangik.
Manjago cabuah kok nyo tumbuah,
Si baka maliang jo cilok,
Manjago barih kok talampau.
Artinya : menjadi seorang pegawai negeri hendaknya cepat kaki ringan tangan, tak perlu diperintah sudah bekerja. Berhati suci, bermuka jernih, menjadi mata dan telinga bagi tujuan organisasi. Menjaga moral dan etika, dan sebagai benteng pertahanan bagi pemerintah dan masyarakatnya.
Tak dinafikan jika banyak permasalahan hingga kasus-kasus viral akibat cederanya moralitas ASN. Selain itu, lingkungan pekerjaan juga kerap didominasi oleh lingkungan-lingkungan toxic yang akan menghambat ASN lainnya dalam berkarya, rendahnya loyalitas ASN bagi bangsa ini seperti menjadi “pekerjaan rumah” Pemerintah dalam mewujudkan ASN yang berdedikasi dan unggul. Dinding-dinding kantor masih sering mendengengungkan kemangkalan ASN dalam mengikuti kegiatan seremonial kebangsaan, seperti upacara bendera atau baru-baru ini kemangkalan ASN dalam mengikuti Surat Menpan RB terkait pelaksanaan apel pagi yang mewajibkan ASN dengan SOP yang lebih lama dari biasanya, dari protokoler pelaksanaan yang panjang hingga pemutaran lagu-lagu kebangsaan yang membuat gerutu mereka semakin menjadi-jadi.
Dalam sebuah perkara, penulis pernah menumpahkan kegelisahan dalam seonggok syair berikut,
TOXIC
Berkerubung,
Sebangsa rayap dibangkai belatung,
Moncong hanya berguna berhitung untung,
Empati dan simpati dikubur dikawah gunung,
Memanipulasi sekitar agar congornya keras berdengung,
Salahpun, alibinya mengaung-ngaung menggebubung,
Rendah dan remeh menatap mata yang tak bergabung.
Benar,
Pengaruhnya busuk, garang menampar,
Kelit lidahnya pahit meludah ujar,
Aromanya sengit menjauh mawar,
Budayanya biadab, membunuh potensi telentang terkapar.
Yahhhh…
Jangan kalah,
Lawan dan telungkupkan otaknya sampai menyerah,
Hingga rengkah,
Belah,
.
.
dan
.
.
Pecah!
Hematnya, menjadi seorang ASN berarti mampu menjadi “Sitawa Sidingin/penenang atau penawar” bagi masyarakatnya, Menjadi air yang membasahi kerontangnya masalah, bukan menjadi api yang melahap tunas-tunas perubahan yang sedang bertumbuh, namun menghampar teduh bagi kemaslahatan bangsanya.
ASN ITU MENGAKAR TANGGUH,
Menjadi seorang ASN berarti memiliki kans sebagai seorang pemimpin, maka seorang ASN harus memiliki pengetahuan leadership yang mumpuni agar mampu menjadi problem solving dalam merumuskan sebuah keputusan, selain tuntutan pekerjaan sebagai pelayan publik, retorika masyarakat terhadap tingkat kemampuan ASN juga menjadi sebuah tantangan yang harus dipenuhi oleh seorang ASN. Selain itu ASN juga harus memiliki kemampuan Critical Thinking agar ASN dapat menghimpun masalah-masalah publik sehingga menjadi early warning terhadap sesuatu kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah.
Mengimplementasikan sebuah aturan atau peraturan tidak serta-merta dapat dilakukan secara rigid ditengah-tengah masyarakat. Namun harus ada seni dalam implementasinya, makanya seorang ASN juga berkewajiban memiliki kemampuan dalam berkomunikasi (Technical Communications) agar tidak terjadi kesalahan dalam penyampaian informasi atau pelaksanaan pekerjaan. Teknik berkomunikasi tidak hanya bisa sukses melalui komunikasi verbal, namun banyak hal yang harus dikuasai ASN dalam berkomunikasi, diantaranya : Ciri fisik, konsep diri, keyakinan, kepribadian, serta sikap dan perilaku, terhadap komunikan.
ASN dewasa ini juga dituntut agar berhenti mejadikan pekerjaan sebagai rutinitas, bekerja berarti menemukan dan mengurai permasalahan-permasalahan baru. Maka kemampuan persuasi harus melekat kedalam diri seorang ASN, menjadi seorang ASN yang mampu mempengaruhi atau menjadi seorang yang persuatif merupakan sebuah tuntutan pekerjaan agar tujuan pemerintah dapat diterima publik. Bekerja dalam birokrasi pemerintahan juga harus dipahami oleh seorang ASN dalam menghormati hierarki birokrasi, dimana setiap hierarki memiliki batas kewenangan. Batas kewenangan inilah yang akan menjadi objek pertimbangan bagi ASN dalam bekerja sehingga kondisi internal tetap berwujud kondusif. Selain itu ASN juga harus memelihara sikap kolaboratif karena ASN bekerja bukan secara individu melainkan setiap pekerjaan adalam pekerjaan tim yang mewujudkan tujuan institusi.
Lengkapnya sebagai ujung tombak Pemerintahan, ASN harus mampu mengakar tangguh (resilensi) dalam menghadap permasalahan-permasalahan bangsa. Sikap tangguh, ulet, memiliki daya tahan, dan daya banting merupakan variabel penting dalam mengambil sebuah keputusan. Namun sikap tersebut juga harus dibarengi dengan kelenturan atau fleksibelitas agar tidak terjadi benturan kepentingan. “tagang bajelo-jelo, kandua badantiang-dantiang/ ada kalanya tegas dalam menegakan aturan, ada kalanya mengalah demi kodusifitas masyarakat”.