Nilai dasar ASN Indonesia dikenal dengan akronim BerAKHLAK. Salah satu bagian dari nilai dasar tersebut adalah harmonis (H). Harmonis secara garis besar menginternalisasikan pedoman perilaku menghargai perbedaan. ASN Indonesia diharapkan senantiasa dapat bekerja dan mengabdikan dirinya ditengah perbedaan yang ada pada lingkungan kerja maupun lingkungan tempat tinggalnya. Perbedaan suku, agama, ras, dan golongan merupakan pemandangan konvensional pada masyarakat Indonesia khususnya dunia ASN. Perilaku menghormati dan menghargai perbedaan tersebut diharapkan senantiasa menjadi kekuatan dalam menjalankan tugas membangun negeri yang kini berkutub di Ibu Kota Negara Nusantara.
IKN merupakan tempat istimewa yang direncanakan dan dikembangkan semaksimal mungkin oleh pemimpin bangsa terdahulu maupun kontemporer. Pembangunan IKN diharapkan dapat meniscayakan impian adiluhung bangsa Indonesia, yang salah satunya adalah menciptakan generasi yang madani dan Pancasilais. IKN dirancang menjadi kota modern dengan pelbagai bentuk optimalisasi sarana prasarana penunjang kehidupan. Salah satu yang menarik adalah pembangunan tempat ibadah enam agama resmi di Indonesia. Pembangunan tempat ibadah tersebut menunjukkan bahwa IKN dirancang menjadi kota yang berkebhinekaan nasional bahkan global. IKN tidak hanya dijadikan sekadar pusat pemerintahan, melainkan sebagai pusat sosiokultural nasional dan global. Berkaitan dengan itu, persiapan kompetensi sumber daya manusia dalam rangka mewujudkan ibu kota yang prestisius tersebut harus diperhatikan dan dioptimalkan.
Aparatur sipil negara atau ASN menjadi salah satu pilar utama percontohan pembangunan sumber daya manusia yang ideal dan berkompeten. ASN diniscayakan memiliki kompetensi teknis, manajerial, dan sosiokultural. Berkaitan dengan IKN sebagai kota berkebhinekaan global, kompetensi sosiokultural menjadi dasar pijakan dalam berinteraksi sosial khsususnya di IKN. Berdasarkan Permenpanrb No.38 th 2017, kompetensi sosial kultural adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan terkait dengan pengalaman berinteraksi dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya, perilaku, wawasan kebangsaan, etika, nilai-nilai, moral, emosi dan prinsip, yang harus dipenuhi oleh setiap pemegang Jabatan untuk memperoleh hasil kerja sesuai dengan peran, fungsi dan jabatan. ASN yang nantinya pindah tugas ke IKN, tentunya diharapkan semakin mengembangkan dan membudayakan kompetensi sosiokultural, dalam rangka berinteraksi asosiatif dan bersosialisasi di tempat tugas yang baru.
Landasan dan ekspetasi ideal yang dijelaskan tadi tentunya tidak bebas hambatan. Kenyataan yang terjadi adalah tidak semua ASN memiliki mutu kompetensi yang tinggi. Hasil temuan pada beberapa sumber menyatakan bahwa kompetensi ASN masih banyak yang rendah (cek saja beritanya lewat pencarian google). Bertalian dengan itu, terdapat hasil riset yang menarik dari Eka Novian Gunawan dkk (2020). Penelitiannya tentang ASN dilaksanakan pada instansi pemerintahan salah satu daerah di Indonesia, yang menunjukkan bahwa kompetensi teknis dan manajerial ASN masih rendah, sedangkan sosiokulturalnya tidak dipermasalahkan. Hal tersebut menandakan bahwa jiwa sosial dan budaya interaksi asosiatif masyarakat Indonesia khususnya yang menjadi ASN masih tergolong baik. Modal sosiokultural yang baik akan mempermudah dalam mewujudkan masyarakat yang berkebhinekaan global khususnya di IKN. Hasil riset tersebut memang belum dapat digeneralisasikan utuh pada seluruh ASN di Indonesia. Meskipun masyarakat Indonesia terkenal ramah dan berjiwa sosial tinggi, kekhawatiran akan memudarnya nilai tersebut masih ada. Masyarakat Indonesia kontemporer, sebagian besar dikatakan semakin menunjukkan gejala perubahan dari masyarakat paguyuban menjadi patembayan. Oleh karena itu, kompetensi sosiokultural ASN harus tetap menjadi perhatian untuk senantiasa dioptimalkan.
Menurut akademisi Rudy Gunawan dalam karya bukunya, kompetensi sosiokultural kontemporer harus senantiasa dikembangkan dengan berlandaskan kearifan lokal. Masyarakat khususnya ASN harus memiliki kompetensi berpola pikir luas mengglobal, namun tetap melandasi tindakannya dengan kearifan lokal Indonesia (think globally, act locally). Konsep tersebut lebih dikenal dengan glokalisasi.
Hal yang berkaitan juga datang dari guru besar antropologi Nengah Bawa Atmadja, beliau menjelaskan bahwa masyarakat kontemporer dihadapkan oleh arus budaya global yang menyebabkan memudarnya budaya lokal. Hal tersebut adalah ancaman serius bagi masyarakat Indonesia salah satunya yang berstatus sebagai ASN. ASN jika tidak melandasi tugas dan pekerjaannya dengan kearifan lokal, dikhawatirkan akan dapat memberikan pengaruh global yang kurang baik terhadap masyarakat. Misalnya, ASN mewarnai rambutnya dengan warna yang tidak sesuai dengan warna yang ditakdirkan. Kasus semacam itu memang terkesan remeh, tetapi merupakan bentuk adopsi budaya global yang kurang mencerminkan etika ASN. Sesungguhnya banyak kasus lain yang merepresentasikan masih tingginya adopsi budaya luar dikalangan ASN. Oleh sebab itu, perlu adanya penajaman kompetensi sosiokultural ASN khususnya glokalisasi. Pelbagai bentuk riset ilmiah telah menunjukkan hasil bahwa glokalisasi mampu menjadikan masyarakat lebih berpikir global namun tetap bertajuk tindak pada kearifan budaya lokal. Glokalisasi juga diharapkan dapat diadopsi ASN dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya melayani negeri. Intinya, masyarakat khususnya ASN dapat belajar dan mengadopsi budaya-budaya global yang dapat mengubah dan mengefisiensikan kehidupan bangsa dan negara seluas dan sedalam mungkin. Tetapi, perlu diingat untuk memfilter budaya tersebut, mengembangkan dan menyesuaikannya dengan budaya kearifan lokal yang ada di Indonesia.
#IKNdanASN