Salah satu pertanyaan yang belakangan ini sering ditanyakan kepada saya ketika bertemu dengan sanak keluarga, tetangga, hingga kawan lama, adalah seputar rencana kepindahan ke Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Kapan pindah ke IKN? Jadi kan?” demikian kira-kira kalimatnya.
Tentu tidak salah orang menanyakan hal itu kepada saya, karena saya termasuk ASN di sebuah Kementerian. Tetapi karena saya sendiri tidak memiliki jawaban pasti, maka sekedar senyuman dan tawa kecil menjadi jawaban andalan saya.
Sejauh yang saya temui, ASN memiliki ragam reaksi terhadap rencana kepindahan pusat pemerintah Indonesia dari Jakarta ke IKN. Ada yang antusias, ada yang cemas, bahkan sudah ada yang mengajukan pindah ke instansi yang diprediksi tidak akan boyongan ke IKN.
Meskipun sejatinya ASN harus siap ditempatkan di mana saja, tetapi di satu sisi ragam alasan bagi yang enggan pindah ke IKN masih terbilang manusiawi. Keluarga adalah alasan yang kerap mengemuka.
Bagi yang sudah berkeluarga dan memiliki anak usia sekolah, bayangan repotnya memulai kehidupan baru di daerah baru memang bisa menghantui. Terlebih jika ASN tersebut memiliki pasangan istri atau suami yang juga bekerja dan sulit untuk ditinggalkan.
Maka, sudah tepat jika pemerintah memprioritaskan ASN berusia muda, termasuk hasil dari seleksi calon ASN beberapa tahun terakhir. Mereka diharapkan juga memiliki kriteria yang mendukung sistem kerja baru di IKN, antara lain menguasai literasi digital, memiliki kemampuan multitasking, serta mampu menerapkan nilai-nilai BerAKHLAK (Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif).
Bagi mereka yang antusias, bahkan menawarkan diri sejak dini agar bisa masuk daftar pegawai yang akan pindah ke IKN, tentu patut diapresiasi setinggi-tingginya. Salut untuk mereka.
“Kenapa tidak? Fasilitas disediakan, tempat tinggal tersedia, nggak macet, pasti menarik dong untuk membangun hidup baru,” ujar seorang kawan.
Memang ia masih muda, belum menikah, dan rencananya bakal membawa calon istrinya jika jadi dipindah ke IKN.
Setiap orang memang memiliki cara pandang dan rencana masing-masing. Tetapi sebagai ASN, khususnya yang bertugas di instansi pusat, sebaiknya sejak jauh-jauh hari menyiapkan skenario andai sewaktu-waktu benar-benar termasuk dalam daftar ASN yang harus pindah ke IKN.
Demikian pula saya, meskipun saya sama sekali tidak tahu apakah saya termasuk dalam rencana pemindahan, sejak jauh-jauh hari saya sudah memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Langkah pertama dan terpenting adalah menyiapkan mental diri sendiri dan keluarga. Tidak mudah memang, apalagi menjelaskan kepada anak-anak yang masih kecil bagaimana situasi dan kondisi di IKN nantinya.
Namun, dalam beberapa kesempatan saya mencoba mengajak istri dan anak-anak nonton bareng video tentang IKN dan perkembangannya. Dari situlah mereka mulai mencoba mengerti.
“Tinggalnya di apartemen Yah? Ada internetnya nggak?” celetukan seperti ini pun pernah terlontar dari mulut anak saya.
Sebenarnya, pergi merantau demi tugas negara bukanlah hal asing bagi saya. Setahun setelah masa percobaan CPNS di Jakarta, 15 tahun lalu saya mendapat penempatan tugas di Sulawesi Tenggara. Menyeberang pulau beribu-ribu kilo meter jauhnya dari kampung halaman saya di Jawa Tengah. Maklumlah, saya bertugas di instansi vertikal yang punya kaki di daerah.
Saya ingat betul, saya bersama tiga orang seangkatan, terbang ke Kota Kendari dengan berbekal selembar SK dan satu tas berisi pakaian secukupnya. Dua minggu pertama kami terpaksa menumpang di kos seorang senior di kantor, suatu hal yang patut disyukuri meski harus berhimpitan di kamar kos berdinding kayu.
Kala itu penghasilan hanya berupa gaji, belum ada yang namanya tunjangan kinerja. Tetapi dengan segala dinamikanya, semua itu bisa dilalui.
Setelah 5 tahun bertugas dan sudah jauh mengenal adat dan budaya daerah setempat, saya pun kembali dipanggil untuk bertugas di pusat, kembali ke Jakarta dengan segala hiruk pikuknya.
Pengalaman tersebut mengajarkan saya bahwa ASN memang harus tahan banting dan mampu beradaptasi dengan baik ketika ditempatkan di sebuah daerah baru. Walau faktanya memang banyak juga yang menyerah di tengah jalan.
IKN bakal menjadi tantangan yang tidak mudah bagi siapapun yang dipanggil untuk turut serta menjadi bagian sejarah berkembangnya kota tersebut. Bukan melulu soal ketersediaan sarana, fasilitas, dan bangunan fisik, lebih dari itu para pendatang termasuk ASN harus bisa beradaptasi dengan baik dengan menghormati nilai-nilai dan budaya setempat.
Patut diingat dan dicerna sedalam-dalamnya, bahwa ASN yang dipanggil adalah untuk bekerja dan bertugas. Bukan untuk dilayani dan dipersilakan jalan-jalan menikmati suasana IKN.
ASN yang bakal menjadi tulang punggung IKN sebaiknya memang memiliki niat untuk turut berperan membangun negara sekaligus membangun hidup dan masa depannya sebagai warga Kota Nusantara.
Kita harus belajar dari lambatnya pertumbuhan sebuah kota yang didesain sebagai ibu kota atau pusat pemerintahan, baik di negara lain maupun di Indonesia sendiri merujuk pada ibu kota baru sebuah provinsi atau kabupaten.
Salah satu biang lambatnya pertumbuhan kota tersebut adalah warganya yang rata-rata pegawai pemerintahan, justru tidak betah tinggal di kota tersebut. Sistem PJKA atau “pulang Jumat kembali Ahad” kerap dilakukan oleh para pegawai.
Ya, seolah tak ada magnet di kota pemerintahan baru, sehingga para pegawai lebih memilih pulang ketika akhir pekan, dan datang kembali di saat awal pekan depannya.
Hal semacam ini yang tak boleh terjadi di IKN. Rindu pulang kampung atau keluarga pastilah menjadi sebuah kewajaran dan manusiawi. Tetapi tiap saat hanya memikirkan pulang tentu bisa mengganggu kinerja.
Konsep IKN tentu beda. Pemerintah menjamin bahwa perpindahan ibu kota sekaligus pusat pemerintahan merupakan salah satu upaya untuk melakukan pemerataan di segala bidang, baik ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Artinya, warga IKN, yang notabene bakal lebih banyak diwarnai oleh ASN pendatang, diharapkan turut menjadi agen perubahan dan pemerataan yang membawa semangat kemajuan dari IKN. ASN sebagai bagian pemerintahan, juga sekaligus bakal berperan menjadi warga masyarakat, berbaur dan berpadu dengan masyarakat lokal setempat.
Maka, persiapan mental pribadi ASN adalah sebuah keniscayaan. Kelompok pertama yang akan datang ke IKN adalah sekelompok perintis yang patut mendapat apresiasi.
Tidak akan mudah memang, dan sudah pasti di awal-awal bakal terjadi banyak kendala dan tantangan. Contoh paling sederhana, mungkin persoalan kebiasaan sarapan bubur ayam atau nasi uduk seperti di Jakarta, dan mungkin nanti di IKN bakal kesulitan menemui menu yang sama, atau setidaknya rasa yang sesuai selera.
Sederhana tapi bisa mengganggu mood dalam bekerja.
Namun, sekali lagi, seharusnya ASN yang pindah ke IKN memang telah mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin. Hal-hal kecil semacam itu tentu tak seharusnya menjadi permasalahan besar.
Niatkan dengan lurus dan penuh komitmen untuk bekerja demi bangsa, negara, dan masyarakat. Jadilah bagian dari sejarah, dan kelak anak cucu kita bakal bangga tatkala mendengar warisan kiprah kita di IKN.