Kalau ada ajang pencarian bakat bertajuk "The Next Top Disposisioner", saya yakin ASN Indonesia akan mendominasi babak final. Bukan karena mereka hebat dalam membuat keputusan, tapi justru karena mereka lihai dalam melempar bola panas dengan elegan, pakai ballpoint dan paraf basah.
Kata “disposisi” dalam birokrasi itu kayak jampi-jampi. Sekali ditulis “Mohon ditindaklanjuti sebagaimana mestinya”, seluruh bagian bawah langsung bingung: maksudnya apa? siapa yang mestinya? dan mestinya yang mana? Tapi tak ada yang berani tanya. Karena kalau tanya, bisa-bisa dianggap kurang memahami perintah pimpinan. Bahaya, Bung.
Dalam birokrasi kita, surat itu nasibnya mirip anak ayam kehilangan induk, dipindah dari satu meja ke meja lain, dari satu pejabat ke pejabat lain, tanpa kejelasan kapan akan ditindaklanjuti, atau lebih sering: kapan akan dilupakan.
Yang lucu, kadang disposisi itu cuma ganti tulisan aja. Dari “Mohon ditindaklanjuti” jadi “Mohon atensi”, lalu pindah jadi “Mohon dikaji”. Pokoknya sepanjang surat itu masih hidup, dia akan terus jadi korban copy paste disposisi, sampai akhirnya masuk rak “Nanti Saja”, bersama impian reformasi birokrasi.
Tapi jangan salahkan ASN sepenuhnya. Dalam ekosistem yang segala keputusan bisa berujung pada mutasi, pemeriksaan, atau minimal dimarahi lewat WA pukul 22.00 WIB, wajar jika banyak ASN lebih milih diam dan “menunggu arahan”. Bahkan untuk beli air galon pun kadang harus ada disposisi dari atasan.
Ketika tugas datang, reflek pertama sebagian ASN bukan berpikir "bagaimana menyelesaikan ini", tapi “bagaimana mendisposisikan ini ke orang lain tanpa terkesan lari dari tanggung jawab”. Inilah seni bertahan hidup dalam birokrasi: menyentuh tugas tanpa benar-benar menyentuh.
Bukan berarti ASN nggak punya wewenang. Di atas kertas, wewenang mereka jelas. Tapi praktiknya? Ah, kertas-kertas itu akhirnya ikut masuk ke map disposisi juga.
Wewenang itu seperti kunci pintu yang digantung tinggi, secara teori bisa dijangkau, tapi kenyataannya selalu ada yang bilang, “Jangan buka pintu itu, nanti dianggap terlalu aktif.” Terlalu aktif dalam birokrasi itu risiko tinggi. Bisa dianggap cari muka, bisa juga dituduh sok tahu. Lebih aman jadi ASN yang biasa saja, jalani hidup dengan prinsip: “Jangan menonjol, jangan juga hilang dari daftar hadir.”
Setiap kali bicara solusi, kita cenderung membuat tim kerja, kemudian rapat, lalu bikin notulensi, yang nanti tentu saja... akan didisposisikan. Siklus ini abadi, seperti sinetron kejar tayang. ASN tahu itu, tapi ya begitulah hidup, selama masih bisa didisposisi, kenapa harus diputuskan?
Tapi kalau mau serius, harus ada perubahan. Kita perlu pemimpin yang bukan cuma jago disposisi, tapi juga jago memutuskan. Kita butuh ASN yang berani mengangkat tangan, bukan cuma mengangkat map.
Karena negara ini tidak akan maju hanya dengan disposisi. Kita butuh keputusan. Dan keputusan itu, sayangnya, tidak bisa di-paraf begitu saja.