ASN dalam Birokrasi "Serakahnomics"

Gambar sampul ASN dalam Birokrasi "Serakahnomics"

Kalau mendengar istilah serakahnomics, orang biasanya langsung teringat pada pengusaha rakus yang suka memainkan harga beras atau mafia minyak goreng. Padahal, di birokrasi, serakahnomics justru lebih sering nongkrong ketimbang di pasar. Bedanya, kalau di pasar rakyat bermain timbang-menimbang, di birokrasi bermain tanda tangan dan stempel. Sama-sama rakus, hanya saja lebih rapi, lebih formal, dan kadang malah dilegalkan dengan bahasa yang terdengar sopan: “biaya administrasi”, “uang lelah”, atau “koordinasi.”

Sebagai ASN, kita sering berada dalam posisi dilema. Di satu sisi, setiap hari kami dijejali jargon Zona Integritas, Reformasi Birokrasi, dan Pelayanan Prima. Di sisi lain, kita tahu betul masih ada pejabat yang menilai jabatan bukan sebagai amanah, melainkan sebagai “lahan basah” yang harus segera dikapitalisasi. Inilah wajah nyata serakahnomics: jabatan publik dianggap investasi, birokrasi dianggap mesin uang.

Sungguh ironis. Reformasi birokrasi yang sudah digaungkan hampir dua dekade sering kali hanya berhenti di papan spanduk atau template PowerPoint. Sistem sudah dibuat digital, aplikasi layanan publik sudah canggih, laporan keuangan sudah transparan. Tetapi, apa gunanya semua itu kalau mentalitas para pelaku masih serakah? Jika dulu orang menitip berkas menggunakan map cokelat, sekarang menitipnya melalui kode OTP di aplikasi. Jika dulu pungli diselipkan di meja loket, sekarang dikirim lewat transfer bank. Jadi, siapa bilang korupsi tidak ikut tren digital?

Masalah terbesar birokrasi kita memang bukan sekadar sistem yang ruwet, melainkan budaya serakah yang melekat pada banyak pejabat. Ada ASN yang merasa wajar mengambil sedikit “uang terima kasih” dengan dalih gaji tidak sebanding dengan beban kerja. Ada pula pejabat yang merasa berhak atas fee proyek karena merasa sudah “berjuang” duduk di kursi jabatan itu. Padahal, jika kita jujur, gaji ASN sebenarnya cukup untuk hidup sederhana, yang tidak cukup adalah rasa puas. Dan di situlah serakahnomics menemukan panggungnya.

Namun, bukan berarti semua ASN sama. Saya percaya masih banyak rekan yang berintegritas, yang menolak bermain proyek, yang memilih hidup sederhana meskipun sering dicap “tidak gaul” atau “kurang pintar mencari peluang,” dan bahkan cenderung dianggap "berbahaya" karena punya idealisme dalam bekerja. Mereka inilah benteng terakhir birokrasi kita. Sayangnya, suara mereka sering kalah keras dibanding budaya permisif terhadap keserakahan. Dan ketika yang serakah naik pangkat lebih cepat, ASN yang jujur pun kerap merasa patah arang.

Jika boleh jujur, tantangan reformasi birokrasi bukan sekadar struktur atau aturan. Tantangan sebenarnya adalah mengubah mentalitas ASN: dari pelayan rekening pribadi menjadi pelayan publik. Kita boleh membuat seratus aplikasi layanan, seribu Peraturan Menteri, atau sepuluh ribu seminar antikorupsi. Namun, jika mentalitas serakahnomics masih menjadi default setting birokrasi, hasilnya tetap sama: reformasi hanya menjadi kosmetik, sementara korupsi tetap mengakar.

Sebagai ASN, saya punya harapan sederhana: semoga suatu hari jabatan tidak lagi dipandang sebagai ladang panen, melainkan sebagai amanah. Semoga kata “pelayanan publik” benar-benar berarti melayani rakyat, bukan melayani dompet pejabat. Dan semoga kita tidak lagi dikenal sebagai Aparatur Sipil Negara yang identik dengan lambat dan korup, tetapi sebagai ASN yang bisa menjadi teladan integritas. Sebab jika tidak, jangan salahkan rakyat jika kepanjangan ASN berubah menjadi “Aparatur Serakah Negara.”

Pada akhirnya, melawan serakahnomics di birokrasi bukan hanya soal menegakkan aturan, melainkan soal keberanian personal untuk berkata cukup. Karena keserakahan tidak pernah ada ujungnya, tetapi kejujuran selalu memiliki akhir yang indah: dihormati, dipercaya, dan dikenang. Berani jujur hebat!

Bagikan :