Ini adalah sebuah kisah, atau mungkin lebih tepatnya hanya muntahan kata-kata, dari seorang ASN di suatu unit kerja.
ASN ini bekerja di sebuah unit kerja yang mengabdi di bidang pendidikan. Uniknya, dia tidak mengabdi untuk Kemendikbud, tidak pula untuk Pemprov, Pemda, apalagi Kemenag. Bahkan, latar pendidikan ASN yang satu ini bukanlah sarjana pendidikan. Kira-kira, adakah yang bisa menebak di mana dia mengabdi?
Meski terdengar unik, tapi inilah saya, ASN jebolan sarjana non pendidikan yang mengabdi di bidang pendidikan, yang bertugas bukan di bawah Kementerian Pendidikan.
Awal mula perjalanan saya menjadi ASN cukup unik. Oke, saya beri sedikit clue: saya adalah sarjana Kimia. Sepanjang menjalani pendidikan, saya punya ikrar: saya tidak mau bekerja di laboratorium. Maka saya mulai meniti karir di bidang pendidikan (mengajar di Bimbel).
Unit kerja tempat saya mengabdi saat ini adalah sebuat SMK yang cukup tersohor kualitasnya dan dikenal sudah banyak melahirkan lulusan yang mumpuni. Meskipun kakak saya bersekolah di sana, tapi saya tidak tahu kalau ternyata sekolah ini adalah sekolah milik negara. Karena tersohor kualitasnya, banyak orang mengira sekolah ini adalah sekolah swasta (iya, termasuk saya). Pertama kalinya saya tahu bahwa sekolah ini adalah sekolah negeri adalah karena kakak saya (yang lain) sempat mengajar di sekolah ini secara kontrak. Beliau dengan bersemangat menyuruh saya mendaftar ke sekolah ini jika ada pembukaan penerimaan CPNS.
Seolah semesta mendukung, pada tahun 2017, diadakan pembukaan penerimaan CPNS besar-besaran. Pasti yang sudah pernah mencoba mendaftar ASN tahu betapa banyaknya posisi yang ditawarkan di berbagai Kementerian, apalagi untuk Sarjana Kimia. Saya bahkan bisa mendaftar di perpustakaan dan museum, yang mana saat itu pikiran naif saya membatin: agak jauh ya korelasinya. Tapi memang Sarjana Kimia dibutuhkan di hampir semua sektor (promosi setitik). Dan uniknya, tahun itu, SMK yang saya incar mensyaratkan sarjana Kimia untuk posisi Guru. Kenapa unik? Karena rupanya tahun-tahun sebelumnya yang dipersyaratkan adalah Sarjana Pendidikan Kimia.
Untuk Kementerian yang satu ini, beberapa formasi pendidik yang dibuka mensyaratkan nilai TOEFL ITP, yang mana juga cukup unik, karena umumnya nilai TOEFL yang disyaratkan di Kementerian lain tidak harus ITP. Tapi itu bukan masalah yang berarti untuk saya (iya, sesombong itu). The problem arise when you least expect it.
Proses pendaftaran, tes, dan pemenuhan persyaratan berjalan dengan lancar. Bahkan persyaratan sehat jasmani dan rohani yang baru ada di tahun itu. Ya betul, untuk jadi ASN kita memang harus waras. Setelah belajar dari pengalaman sebelumnya, BKN akhirnya sadar kalau ASN tidak cukup hanya sehat jasmani, tapi rohaninya juga harus sehat (untuk yang tes rohaninya remedial, tidak apa-apa, yang penting lulus).
Saat semua proses berjalan lancar, saya sudah curiga, ini kapan kira-kira batu sandungannya muncul. Akhirnya masalah datang pada kelengkapan berkas. Rupanya, Fakultas tempat saya berkuliah membagikan legalisir ijazah yang tanda tangannya adalah cap. Sedangkan, sudah barang tentu kelengkapan berkas haruslah aseli which is harus tanda tangan basah. Untungnya, saya tidak sendirian. Tidak untungnya, saya dan teman saya bukan fresh graduate, yang artinya waktu kami untuk mengurus pemberkasan ini cukup terbatas, karena masing-masing dari kami masih terikat kontrak kerja di tempat lain saat itu. Sebetulnya itu semua hanyalah proses yang pasti harus dilalui oleh masing-masing orang, tapi dunia ini tentunya memberi ujian bagi setiap manusia, saat itu ujian saya datang dari manusia lain, rekan calon ASN berinisial M yang dalam grup Whatspp dengan congkak mendesak saya dan teman saya segera merampungkan masalah kami, karena kami mengancam maslahat kehidupan dia sebagai ASN. Apakah dia pikir maslahat kehidupan saya dan teman saya tidak sama terancamnya? Saya hanya bisa bertanya pada rumput yang bergoyang.
Saya berterima kasih yang sedalam-dalamnya kepada rekan saya yang saat itu mencegat dekan di parkiran setelah menunggui mobil bapak dekan masuk ke parkiran seharian. Berdasarkan birokrasi, legalisir ijazah membutuhkan waktu satu minggu. Berdasarkan realita, satu minggu pun legalisir ijazahnya belum ditandatangani. Dengan sangat sopan rekan saya berbicara dengan dekan tersebut untuk menanyakan langsung hasil legalisir kami, karena legalisir tersebut merupakan syarat sah ASN yang berbatas waktu. Bapak dekan dengan baik hati masuk ke ruangan beliau dan mencari-cari ijazah kami di tumpukan ijazah yang harus beliau legalisir, yang entah kapan akan ditandatangani kalau tidak ada intervensi dari teman saya. Sore itu juga kami berangkat ke Jakarta untuk mengirimkan langsung hasil legalisir kami ke Kementerian Pusat.
Saya yakin masing-masing dari kita memiliki batu sandungan tersendiri saat melalui proses untuk menjadi abdi negara. Ini hanyalah perjalanan saya untuk menuju ke sana, dan harapannya ada pelajaran yang bisa kita petik bersama-sama. Anda pasti bisa menjadi ASN, asalkan kemauan anda cukup kuat untuk menjalani setiap prosesnya dan mau berkomitmen mempersiapkan diri sebaik-baiknya (dan tentunya takdir juga berbicara). Saya harap fenomena akhir-akhir ini di mana banyak calon ASN mundur setelah dinyatakan diterima dapat berkurang dan para calon ASN yang melamar dapat mencari tahu dulu selengkap-lengkapnya tentang ekspetasi yang harus dihadapi dan dijalani sebelum memutuskan untuk melamar menjadi ASN.
Sebagai insight terakhir, berdasarkan pengalaman saya pribadi, tidak semua orang bisa menjiwai pekerjaan sebagai ASN. Saya sudah mengabdi selama lima tahun, saya tahu betul bagaimana anekdot ASN di luaran sana. Kerja sedikit, gaji besar. Tapi itu adalah jejak masa lalu yang sulit sekali dihilangkan bayangannya. Saat anda bekerja di sektor swasta, volume pekerjaan anda tidak bisa anda pilih. Gaji anda di perusahaan swasta adalah refleksi betapa kerasnya anda bekerja. Sebagai ASN, yang terjadi adalah sebaliknya. Ya betul, sebagian ASN bisa memilih untuk memiliki sedikit pekerjaan, tapi akibatnya sebagaian ASN lainnya tidak bisa menghindari besarnya volume pekerjaan yang dibebankan kepada mereka. Dan khalayak tidak memedulikan kenyataan bahwa sebagai ASN, gaji anda sama sekali tidak merefleksikan betapa keras anda bekerja. Sebagian ASN memiliki porsi pekerjaan jauh lebih banyak, dengan gaji yang besarannya sudah ditetapkan kurang lebih sama dengan mereka yang porsi pekerjaannya jauh lebih sedikit (the umbies is real). Pertanggungjawaban yang diemban ASN menyangkut negara, tapi apalah artinya pertanggungjawaban jika pribadi yang mengembangnya tidak dapat menghayati perannya sebagai ASN.
ASN memang dambaan banyak orang karena sekuritas pekerjaannya. Tapi pada fitrahnya, ASN adalah pekerjaan yang membuat anda bisa hidup berkecukupan, bukan hidup bergelimang harta. Jika anda melihat kasus yang berbanding terbalik dengan pernyataan tersebut, maka percaya lah, sumber kekayaan tersebut memiliki dua kemungkinan: dari pintu usaha yang lain atau dari sumber yang tidak sesuai fitrahnya. Akhir kata, semoga ke depannya kesejahteraan ASN dapat berimbang dengan porsi pekerjaannya dan ketimpangan sistem dapat diperbaiki untuk menuju Indonesia Emas Berpendidikan.