Asimetri Etis: Membaca Batas antara Dedikasi ASN dan Penyalahgunaan Fasilitas Publik

Gambar sampul Asimetri Etis: Membaca Batas antara Dedikasi ASN dan Penyalahgunaan Fasilitas Publik

Belum lama ini, sebuah instansi pemerintah daerah mengunggah pernyataan yang menyebutkan bahwa penggunaan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi merupakan bagian dari praktik korupsi. Unggahan ini memicu diskursus yang tajam, antara pihak yang mendukung penuh narasi moralitas tersebut, sementara sebagian lainnya menganggap panduan tersebut terlalu kaku. Diskusi ini membuka persoalan penting: di mana sebenarnya batas etis antara penggunaan fasilitas pribadi untuk membantu pekerjaan kantor dan penggunaan fasilitas kantor untuk kebutuhan pribadi?

Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), penggunaan fasilitas pribadi untuk mendukung kerja birokrasi adalah realitas yang hampir tidak terelakkan. Banyak yang memakai laptop pribadi, jaringan internet pribadi, hingga kendaraan yang masih juga milik pribadi, digunakan untuk menutup keterbatasan infrastruktur kantor. Sikap ini selanjutnya dimaknai sebagai bentuk dedikasi dan loyalitas terhadap tugas negara. Namun, masalah muncul ketika dedikasi dan loyalitas ini dijadikan justifikasi timbal-balik untuk memperlakukan fasilitas kantor seolah memiliki status yang sama dengan fasilitas pribadi. Logika semacam ini tentu saja berbahaya, jika dibiarkan, maka standar integritas ASN akan perlahan terkikis.

Di titik inilah kita perlu menegaskan asimetri etis, mengenai penggunaan fasilitas pribadi untuk kepentingan kantor yang tidak identik, apalagi sepadan, dengan penggunaan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi. Poin pertama adalah cerminan pengorbanan sukarela dari individu, sedangkan yang kedua adalah bentuk penyalahgunaan wewenang atas aset kolektif. Bahaya konseptual muncul ketika dikonstruksikan adanya “kesetaraan moral” antara dua arah tersebut. Yang membentuk narasi seperti “saya sudah menggunakan laptop pribadi untuk kerja setiap hari, maka wajar bila sesekali saya meminjam mobil dinas untuk keluarga.” Narasi seperti ini adalah buah dari kesalahan berpikir. Jika dibiarkan, tentunya akan menumbuhkan budaya barter yang keliru antara pengorbanan dan penyimpangan.

Fenomena kaburnya batas tersebut memiliki konsekuensi serius bagi ethos birokrasi, risiko yang muncul bukan hanya kerugian materiil, tapi juga turunnya wibawa ASN di mata publik. Oleh karena itu, dua hal yang perlu ditekankan. Pertama, secara normatif perlu ditegaskan bahwa bahwa aturan fasilitas pribadi boleh dimanfaatkan untuk kantor hanya dalam kondisi insidental, sukarela, dan dengan batas temporal yang jelas atau bersifat sementara. Atau opsi kedua, penggunaan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi harus dianggap sebagai pelanggaran, kecuali diatur secara eksplisit oleh regulasi formal. Seiring dengan itu, negara selanjutnya berkewajiban menyediakan sarana kerja memadai agar ketergantungan pada fasilitas pribadi tidak menjadi pola permanen.

Analoginya sederhana, laptop pribadi yang digunakan untuk kerja birokrasi adalah kontribusi sukarela, sedangkan laptop kantor yang dipakai untuk kepentingan pribadi sama seperti mengambil milik bersama untuk kepentingan sendiri. Dedikasi individu tidak boleh ditransformasikan sebagai alasan untuk melanggar aturan dan menyalahgunakan aset publik. Jika batas ini terus dibiarkan kabur dan menjadi area abu-abu (grey area), yang dipertaruhkan bukan hanya efisiensi penggunaan anggaran, tetapi juga marwah ASN sebaagai pelayan masyarakat. Pertanyaan akhirnya adalah: Apakah kita mampu menjaga konsistensi etis dalam memisahkan kontribusi pribadi dengan penyalahgunaan fasilitas publik?

Bagikan :