Hari ini, mungkin kita semua—jutaan rakyat Indonesia, dari Sabang hingga Merauke—merasai satu getaran emosi yang sama: kekecewaan. Niat tulus para suporter untuk mengajukan cuti, menyaksikan langsung lambang Garuda berlaga di pentas akbar Piala Dunia 2026 di Amerika Utara, kini harus kandas. Malam yang baru berlalu meninggalkan pil pahit, mimpi yang membuncah selama kurang lebih tiga tahun terakhir, sejak gaung perbaikan total di tubuh PSSI terdengar, kini kembali harus dikubur dalam-dalam.
Mimpi tersebut memang memiliki dasar yang kuat. Perbaikan tata kelola federasi yang diiringi dengan penambahan kekuatan pemain diaspora—sebuah langkah strategis yang didukung PSSI—telah mengirimkan sinyal optimisme bahwa Indonesia akan mampu bersaing. Upaya naturalisasi dan pencarian bakat keturunan di luar negeri telah menghasilkan skuad yang diyakini paling kompetitif dalam sejarah.
Namun, di tengah perjalanan yang penuh harapan itu, kita disuguhkan dengan sebuah drama yang memicu perdebatan. Pelatih yang telah merintis era kebangkitan tim nasional, Shin Tae-yong (STY), harus diganti. Sebagai gantinya, legenda sepak bola Belanda, Patrick Kluivert, datang memimpin Timnas Senior di putaran keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia. Sebuah keputusan besar yang kini menuai sorotan tajam.
Kenyataannya memang getir. Hasil laga penentuan semalam, kekalahan 0-1 dari Irak (hasil ini mengakhiri langkah Indonesia di Putaran Keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026, menjadikannya juru kunci Grup B tanpa poin), memaksa kita mengakhiri perjalanan historis ini. Harapan melihat 'Merah Putih' di panggung tertinggi sepak bola dunia harus tertunda.
Meskipun kecewa, ada satu hal yang tak boleh luput dari pandangan kita: apresiasi tulus untuk para pemain. Untuk Jay Idzes, Thom Haye, Ragnar Oratmangoen, hingga pemain lokal seperti Rizky Ridho dan Ricky Kambuaya—mereka semua telah berjuang habis-habisan, mencurahkan tenaga, dan menumpahkan air mata. Kita melihat tekad yang kuat di setiap tackle, lari, dan tangisan mereka setelah peluit panjang berbunyi. Terima kasih, Garuda, atas perjuangan tanpa kenal lelah yang telah kalian ukir.
Tentu, dalam denyut kehidupan, ruang untuk kecewa itu niscaya ada. Sebagai warga negara, kami berhak merasakan kesedihan ini. Namun, kekecewaan ini tidak boleh dibiarkan berlarut. Evaluasi mutlak harus dilakukan, tidak hanya sebagai pemadam api kekecewaan suporter, tetapi sebagai cetak biru untuk masa depan.
Bagi kami, para Aparatur Sipil Negara, kemenangan Timnas Garuda sesungguhnya adalah pelipur lara dan suntikan semangat di tengah rutinitas pengabdian. Menjadi seorang Abdi Negara tak lepas dari dinamika ekspektasi dan realita. Di tengah beban dan tantangan itu, kemenangan Timnas menjelma menjadi simbol keberhasilan kolektif bangsa, sebuah energi positif yang mampu mengatrol moralitas kami dalam menjalankan tugas.
Kegagalan ini memang perih, namun ia sekaligus menjadi pengingat: proses reformasi dan peningkatan kualitas harus berjalan beriringan dan berkelanjutan.
Segera Bangkit, Garuda! Kekalahan ini adalah bekal berharga, sebuah pelajaran tentang betapa mahalnya harga sebuah mimpi. Kami, para Abdi Negara, berdiri tegak, siap menanti saat kebangkitanmu, menyaksikan lambang Garuda kembali terbang tinggi, menuju panggung laga tertinggi. Mimpi itu tidak mati, ia hanya tertunda untuk edisi berikutnya, Piala Dunia 2030.
—RM