Kabinet Merah-Putih resmi dibentuk setelah dilantiknya Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk periode 2024-2029. 20 Oktober 2024, tepatnya pukul 21:20 WIB, pasca pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo-Gibran mengumumkan susunan kabinet yang diberi nama Kabinet Merah Putih. Publik tercengang dengan betapa “gendutnya” kabinet yang dibentuk.
Ada beberapa Kementerian yang dipecah menjadi 2 hingga 3 kementerian baru, tak ayal Kabinet Merah Putih menjadi kabinet “gendut” dengan total 43 Kementerian. Belum termasuk dengan 6 badan yang dibentuk dan kepalanya dilantik pada 22 Oktober 2024, yaitu Badan Penyelenggara Haji, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara, Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal, Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus, dan Badan Gizi Nasional.
Kabinet yang disebut-sebut sebagai “Zaken Cabinet” oleh Prabowo (merujuk pada keterangan Ahmad Muzani, Juru Bicara Partai Gerindra pada 9 September 2024) patut untuk dinanti hasil kerjanya. Porsi yang besar dalam Kabinet Merah Putih, diklaim dibangun untuk menciptakan kerja yang efektif. Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan urusan yang sebelumnya ditangani oleh hanya sekelas direktorat jenderal, kini dibentuk sebuah kementerian untuk menangani urusan tersebut, yang berarti ada fokus yang diinginkan oleh Prabowo-Gibran dalam beberapa hal. Contoh Kementerian Hukum dan HAM yang dipecah menjadi 3 kementerian baru, yaitu Kementerian Hukum, Kementerian HAM, dan Kementerian Imigrasi dan Permasyarakatan.
Hal ini akan berdampak pada penggunaan APBN, karena pasti porsi anggaran yang dibutuhkan untuk sebuah urusan yang sebelumnya dikerjakan oleh direktorat jenderal berbeda dengan ketika sekarang urusan tersebut sudah ditangani oleh sebuah Kementerian. Maka susunan Kabinet Merah Putih ini dituntut untuk efisien dan efektif dalam bekerja. Kehasilgunaan dan kedayagunaan tersebut yang menjadi kunci menuju peningkatan pelayanan publik, karena menurut kami keberhasilan ataupun kegagalan kabinet ini menjadi “butterfly effect” pada kualitas pelayanan publik bahkan hingga tingkat daerah, karena beban APBN yang tinggi dan efektivitas kerja kementerian baru yang terpertaruhkan. Oleh karena itu, kami memiliki harapan kepada pemerintahan baru, Kabinet Merah-Putih, yaitu
Besarnya Kabinet Merah Putih, dengan total 43 kementerian harus efektif dalam bekerja dan efisien dalam penggunaan anggaran. Karena dalam pengelolaan keuangan negara ada prinsip yang disebut Money Follow Function. Sehingga dengan banyak kementerian baru yang berasal dari pemecahan Kementerian menjadi 2 hingga 3 kementerian baru, berdampak pada menambahnya beban APBN untuk membiayai operasional kerja kementerian-kementerian baru tersebut. Beban APBN yang bertambah akan berdampak pada plot anggaran lainnya dan bukan tidak mungkin akan berdampak pada kualitas pelayanan publik.
Dengan kondisi yang demikian, maka kami berharap kerja Kabinet Merah Putih ini dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Tingkat efektivitas dan efisiensi kerja pemerintah pusat, dalam hal ini Kabinet Merah Putih akan berdampak pada kualitas pelayanan publik hingga level daerah.
Pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, terdapat inisiasi penyederhanaan dan percepatan perizinan. Terobosan-terobosan tersebut dimulai dengan pembentukan Online Single Submission Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (OSS), hingga pembentukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dan aturan turunannya. Namun hingga saat ini proses penyederhanaan dan percepatan perizinan belum sepenuhnya efektif. Misal dalam sektor Lingkungan Hidup, dengan adanya UU Cipta Kerja, proses perizinan lingkungan hidup harus dilakukan melalui Sistem Informasi Lingkungan Hidup, yang kini disebut sebagai Amdalnet. Sistem Amdalnet tersebut kini sudah terbentuk tetapi masih belum maksimal terintegrasi dengan sistem OSS, sehingga acapkali dalam tataran teknis, pelaku usaha masih perlu meminta arahan ke instansi yang membidangi lingkungan hidup di daerah. Sayangnya, instansi daerah pun tidak jarang tidak dapat dengan cepat merespon hal tersebut, dikarenakan sistem Amdalnet merupakan sistem yang dibentuk oleh pemerintah pusat. Selain itu, UU Cipta Kerja dan aturan turunannya dalam sektor lingkungan hidup mewajibkan dibentuknya Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup yang berkedudukan di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Namun hingga saat ini tim ini belum terbentuk di berbagai daerah.
Terlebih lagi, dalam sektor perizinan terdapat masalah terkait efektifitas pengawasan perizinan. Bahwa untuk mendukung penyederhanaan dan percepatan perizinan, UU Cipta Kerja dan aturan turunannya menggunakan konsep Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang mengedepankan prinsip Trust but Verify, yaitu mempermudah proses penerbitan perizinan, tetapi memperkuat pengawasan pelaksanaan kegiatan usaha. Konsep seperti ini jelas mendukung penanaman modal. Namun dalam administrasi negara, perizinan yang dikeluarkan perlu untuk dilakukan pengawasan, agar kegiatan yang dilaksanakan masih dalam koridor ketentuan-ketentuan yang diberikan dalam perizinan yang diperoleh. Dengan konsep demikian, berdampak pada kondisi di lapangan, yaitu adanya gap antara jumlah personil pengawasan dengan kegiatan usaha yang perlu diawasi.
Oleh karena itu, pemerintahan baru, melalui Kabinet Merah Putih diharapkan mampu menyelesaikan masa peralihan UU Cipta Kerja dan aturan turunannya agar proses penyederhanaan dan percepatan perizinan dapat berjalan dengan lancar tanpa permasalahan yang berarti dalam tataran teknis. Selain itu, untuk menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan, dan meminimalisir konflik horizontal akibat aktivitas penanaman modal, maka perlu adanya peningkatan kualitas sistem pengawasan perizinan berusaha berbasis risiko, yang mungkin dapat dilakukan melalui penambahan personil pengawas untuk mengatasi gap antara jumlah personil pengawasan dengan jumlah kegiatan usaha yang harus diawasi, peningkatan kapasitas personil pengawas dan membuat sistem pengawasan yang mempermudah personil pengawasan dalam memantau kepatuhan pelaku usaha atas perizinan berusaha yang dimiliki.
Keberpihakan ASN hanyalah untuk kepentingan negara, bangsa dan Masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara, ASN berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik dan perekat dan pemersatu bangsa, serta ASN bertugas melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, memberikan pelayanan publik yang professional dan berkualitas, dan mempererat persatuan dan kesatuan NKRI.
Keberpihakan ASN akan mempengaruhi kualitas pelayanan publik. Ketika netralitas ASN tidak terjaga, maka meritokrasi tidak diterapkan dalam manajemen ASN, dan berdampak pada perumusan kebijakan pemerintah yang berpihak pada kelompok tertentu, untuk keuntungan sendiri atau pihak tertentu, yang bermuara pada tindakan-tindakan KKN. Oleh karena itu, oleh UU ASN yang lama, yaitu UU Nomor 5 Tahun 2014, dibentuk Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), yang bertugas untuk menjaga netralitas ASN, melakukan pengawasan atas pembinaan profesi ASN, dan melaporkan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Manajemen ASN kepada Presiden.
Melalui UU Nomor 20 Tahun 2023, KASN dibubarkan, sedangkan tugas dan fungsi KASN nantinya melekat kembali pada Kementerian PAN-RB. Hal ini tentu akan berdampak pada kualitas pengawasan. Bahwa KASN merupakan Lembaga negara yang mandiri dan bebas dari invensi politik. Dalam ketatanegaraan KASN ini masuk dalam klasifikasi Lembaga Negara Independen (LNI). LNI merupakan wujud dari check and balances terhadap tiga kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Menurut Laurensius Arliman, pembentukan LNI dilatarbelakangi oleh adanya krisis kepercayaan terhadap lembaga negara yang ada. Krisis kepercayaan tersebut berasal dari kegagalan Lembaga negara yang ada dalam menjalankan fungsi-fungsi utamanya.[1] Selain itu, menurut Firna Novi Anggoro, alasan dibentuknya LNI adalah adanya upaya untuk membentuk lembaga dengan spesifikasi urusan tertentu.[2]. Sebagai wujud check and balances terhadap 3 cabang kekuasaan dengan dilatarbelakangi oleh krisis kepercayaan terhadap lembaga negara yang ada, LNI memiliki ciri, yaitu mandiri dan bebas dari intervensi politik. Wujud dari kemandirian LNI adalah memiliki mekanisme seleksi keanggotaan tersendiri yang diatur dalam undang-undang khusus, yang anggota komisionernya terdiri dari berbagai elemen masyarakat, serta ditetapkan oleh Presiden, bahkan keuangannya mandiri, dalam arti tidak menginduk kepada suatu Lembaga negara lain.
Dengan karakteristik LNI tersebut, dirasa kurang tepat tugas fungsi KASN dilekatkan pada Kementerian PAN-RB, karena fungsi menjaga netralitas ASN lebih baik diberikan kepada lembaga yang mandiri dan bebas intervensi politik, seperti KASN, bukan dilekatkan pada fungsi lembaga Kementerian yang pimpinannya, dipimpinan oleh “pejabat politik”. Harapan kami, di bawah kepemimpinan pemerintahan baru, dapat ditemukan formulasi baru, untuk membentuk Lembaga Negara Independen yang bertugas menjaga netralitas ASN pasca dibubarkannya KASN.
Di bawah Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, kami harap dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui efisien penggunaan anggaran, penataan birokrasi perizinan, dan konsistensi penerapan sistem merit untuk menjaga netralitas ASN
[1] Laurensius Arliman S. “kedudukan Lembaga Negara Independen di Indonesia Untuk Mencapai Tujuan Negara Hukum”, Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8, No. 7, 2020, halaman 1034-1035
[2] Firna Novi Anggoro, “Penguatan Kelembagaan Komisi Aparatur Sipil negara Sebagai Penjaga Sistem Merit Dalam Manajemen ASN di Indonesia”, Jurnal Hukum dan HAM Wara Sains, Vol. 1, No. 2, Desember 2022, hal. 209