Korupsi berwajah baru dalam Tempat Suci Intelektual
Ibu pertiwi bersedih tak berujung. Tangisan rakyat jelata tentang menjalarnya korupsi tanpa melihat tempat termasuk tempat suci spiritual dan intelektual. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum semata, melainkan sebuah wabah yang menyusup ke setiap ruang kehidupan dan meresap ke DNA warga Indonesia. Data Corruption Perception Index (CPI) 2023 menempatkan Indonesia pada skor 34 dari 100 dan peringkat 115 dunia, sebuah kemunduran dari tahun sebelumnya (Transparency International, 2024). Angka ini bukan hanya statistik, melainkan cermin rapuhnya sendi moral birokrasi kita.
Kampus, yang seharusnya menjadi ruang suci intelektual dan akal budi, ternyata juga tidak steril dari praktik menyimpang ini. Dari gratifikasi halus berupa “oleh-oleh sidang skripsi,” hingga praktik gelap yang lebih membekukan nurani “sextortion”. Inilah wajah baru korupsi yang jarang dibicarakan, namun menorehkan luka mendalam dalam dunia akademik.
Sextortion: Korupsi Berwajah Baru dalam lingkungan kampus
Istilah sextortion pertama kali dipopulerkan oleh International Association of Women Judges (IAWJ) pada 2008, merujuk pada penyalahgunaan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan seksual (IAWJ, 2012). Praktik ini merupakan bentuk korupsi berbasis gender yang menghantui banyak sektor, termasuk pendidikan tinggi. Menurut Global Corruption Barometer (GCB) 2020, Indonesia menempati posisi teratas di Asia dengan tingkat sextortion sebesar 18 persen dua kali lipat dari rata-rata Asia (8 persen) (Transparency International, 2020). Budaya diam dalam lingkungan kampus, stigma terhadap korban, serta minimnya mekanisme pelaporan yang aman membuat sextortion menjadi fenomena gunung es dalam kampus.
Puncak gunung es tersebut meleleh dengan terungkap sebuah kasus dosen di Universitas Sriwijaya pada 2022 yang memeras mahasiswinya dengan imbalan seksual untuk tanda tangan skripsi hanyalah satu potret kecil (Kompas, 2022). Ini adalah sisi paling gelap dari penyalahgunaan kewenangan akademik: ketika relasi kuasa berubah menjadi jebakan yang merampas martabat pelajar.
“Korupsi bukan hanya soal uang yang berpindah tangan, tetapi juga ketika tubuh dijadikan transaksi pelayanan akademik.”
Universitas seharusnya menjadi laboratorium integritas dan dosen adalah referensi integritas pertama para pelajar. Dosen tidak hanya sekedar mengajar, melainkan membentuk watak generasi melalui teladan moral (Basri, 2021). Apresiasi pada kampus Univertsitas Nusa Cendana akan Kebijakannya melarang gratifikasi di lingkungan kampus walaupun nilai gratifikasi tersebut kecil misalnya larangan memberi hadiah bahkan konsumsi berlebihan saat sidang skripsi adalah langkah kecil menumbuhkan asa bahwa integritas lebih berharga daripada ceremony simbolik. Namun, kebijakan itu saja tidak cukup bila masih ada celah ruang gelap di akan kekuasaaan akademik yang bisa dinegosiasikan dengan pendekatan gender. Sextortion menunjukkan bahwa korupsi di kampus kampus menyentuh sudah menyentuh inti kemanusiaan anak didik kita.
Strategi Perlawanan, harapan kampus sebagai laboratorium integritas
Sebagai Dosen ASN muda, saya percaya perlawanan terhadap korupsi, termasuk sextortion, harus dilakukan membutuhkan strategi berlapis, senjata yang tiada habis, serta tim yang solid. Jadikan kampus sebagai laboratium Integritas terkhusunya dimana etika akademisi perlu dicerna diresapi dalam daging setiap akademisi. Perkuat Kode Etik Perdosenan Anti-Gratifikasi dan Anti-Sextortion dimana Penegasan larangan eksploitasi seksual dalam hubungan akademik, dengan mekanisme review tugas akhir. Penerapam digitalisasi akademik dalam Sistem bimbingan dan ujian berbasis aplikasi untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas setiap interaksi dosen dan mahasiswa. Kurikulum akademik yang menekankan Integritas dan Etika Publik dalam ruang kelas dan setiap pembelajaran adalah hal yang penting, kita mendengar ungkapan bahwa “terbiasa membuat sayang” maka dengan memasukan nilai etika dan antikorupsi dalam setiap pembelajaran ruang kelas membuat mahasiswa merasa terbiasa sehingga perasaan sayang dan jatuh cinta dengan integritas diri terbangun perlahan. Gerakan budaya ini tentunya melibatkan semua elemen kampus untuk menolak transaksi korupsi dalam bentuk apa pun. Terakhir Perlindungan dan Mekanisme Pelaporan Peka terhadap Gender, dimana terdapat kanal pengaduan yang aman, melibatkan psikolog dan aparat hukum, agar korban tidak lagi terjerat budaya diam (UNODC, 2021). Dan saya mengapresiasi sekali lagi dalam intitusi saya sudah terdapat kanal pencegahan dan penangan akan hal tersebut, dan saya menjadi salah satu akademisi yang terpilih menjadi peserta pelatihan untuk menjadi anggota komisi tersebut.
Integritas yang Berkelanjutan
Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan menindak pelaku; ia membutuhkan transformasi budaya. Kampus harus menjadi ruang di mana integritas dipupuk, dilindungi, dan diwariskan. Konsep Integritas Berkelanjutan menjadi kunci sebuah ideologi hidup ASN muda yang diwariskan dari dosen kepada mahasiswa, dari ruang kelas ke ruang publik. Oleh karena itu, melawan sextortion berarti melawan bentuk paling brutal dari korupsi: yang merampas hak, martabat, dan masa depan anak didik. Sebagai Dosen ASN, saya meyakini bahwa integritas bukan sekadar pilihan etis, melainkan sumpah pengabdian terhadap negara. Dan bila setiap abdi negara, terutama di kampus, berani menjaga integritasnya, maka suatu hari nanti, korupsi dalam segala wajahnya, termasuk sextortion akan menjadi bagian dari masa lalu, bukan lagi budaya yang kita warisi.
#aksaraAbdimuda