Kali ini kami akan memberikan pandangan pendekatan birokrasi dari tiga hal yaitu Aristokrasi, Dinasti, atau Meritokrasi. Tiga hal ini tentu menjadi pengaruh dalam berlangsungnya suatu birokrasi.
Dinasti merupakan praktik yang mana kekuasaan ditempuh dengan cara diwariskan dari orang tua ke anak atau dari generasi ke generasi, pada umumnya praktik ini erat kaitannya dengan pemerintahan monarki dan kerajaan-kerajaan di masa lampau.
Aristokrasi berasal dari bahasa latin, Aristos (terbaik) serta Kratos (kekuasaan). Secara lahirnya aristokrasi ini dimaknai dengan Pemerintahan yang Baik atau yang lebih kita kenal sebagai Good Governance. Seiring berkembangnya praktik aristokrasi yang dipegang oleh elit-elit makna aritokrasi menjadi pendekatan sesuai kekayaan, keturunan, dan status sosial. Namun aristokrasi yang dimaksud bukanlah pendekatan yang diciptakan oleh seorang filsuf Yunani yaitu Aristoteles, walaupun pada karyanya yang berjudul “La Politica” kata aristokrasi merujuk pada bagian pembahasan dalam good governance, yang mengkaji berbagai bentuk pemerintahan termasuk sistem Monarki, Aristokrasi dan Politea.
Setelah itu ada Meritokrasi berasal dari bahasa latin, meritum (kemampuan atas prestasi) dan kratos (kekuasaan) hal ini tentu saja menjadikan seseorang dari latar belakang apapun dapat menempati posisi tertentu karena prestasi dan keahliannya bukan karena nepotisme atau status sosial.
Telah kita ketahui secara bersama-sama Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi, di mana pemimpin dipilih langsung oleh rakyat. Namun, hal tersebut hanya sampai pada sistem pemilu, sedangkan dalam prosesnya tidak sedikit elit-elit yang memimpin lalu menggunakan pendekatan-pendekatan jalur keluarga atau hubungan bisnis dalam pengisian jabatan-jabatan tertentu.
Sistem dinasti melahirkan kesewenang-wenangan, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), korupsi, ego sektoral, primodialisme dan nepotisme. Tidak jauh berbeda dengan aristokrasi hal-hal yang dipengaruhi dengan kedekatan atau campur tangan jalur orang dalam yang membuat lingkungan tidak sehat, dan berdampak terhadap sosial dalam bermasyarakat ataupun hubungan antar sesama pekerja.
Sebaliknya meritokrasi menjamin bahwa seseorang menduduki jabatan karena kompetensi, prestasi dan keahlian yang relevan. Tentu dengan meritokrasi melahirkan lingkungan kerja lebih sehat dan kompetitif secara positif.
Menurut kami ada hal-hal yang harusnya bertumbuh secara progresif lalu terhambat oleh kepentingan keluarga atau kelompok-kelompok tertentu sehingga sebuah bidang atau sektor yang diempu dengan jalur inkompetensi malah berdampak pada stagnasi.
Sebagai contoh dalam sektor Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Daerah:
Dalam lima tahun, Pekerja A dapat membuat wisatawan domestik bahkan wisatawan mancanegara tertarik ke daerah tersebut karena pekerja A memiliki keahlian dalam mempromosikan keunikan, keragaman budaya serta sektor wisata yang ada.
Pekerja A tersebut sangat jeli dan jitu sehingga promosinya menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Saat wisatawan datang tentu sektor perhotelan, UMKM, pelaku usaha kuliner, dan moda transportasi akan mendapatkan dampak positifnya. Efek domino yang baik menyasar ke berbagai sektor mata pencaharian Masyarakat setempat. Bahkan jika tempat wisata dikelolanya masuk kategori Destinasi Prioritas atau Destinasi Super Prioritas maka hal ini menjadi keuntungan yang besar bagi daerah dan pemerintahan..
Sedangkan, Pekerja B yang kurang memiliki kompetensi di bidang pariwisata akan kesulitan untuk membuat program kerja ataupun kewalahan saat menjalankan program yang sudah ada. Tentu daerah tersebut sudah mengalami kerugian. Ibarat tempat usaha perhotelan yang mengalami mati Listrik 2 jam saja bisa mengalami kerugian hingga puluhan juta bahkan ratusan juta, apalagi jika sebuah bidang diempu oleh orang yang inkompetensi selama bertahun-tahun.
Nah menurut hemat kami, meritokrasi merupakan solusi juga sebuah keharusan bagi Indonesia yang sedang menerapkan Efisiensi Anggaran sebagai wujud dari good governance bagaimana setiap ASN dapat memberikan optimalisasi terhadap manfaat. Tentu dengan menerapkan meritokrasi secara langsung pemerintah sudah menekan pemborosan dan membuat pengelolaan anggaran menjadi lebih optimal.
Ke depannya juga akan berdampak pada kinerja ASN yang semakin termotivasi untuk berkerja dan berkarya karena jabatan yang diemban merupakan hasil dari prestasi bukan karena faktor kedekatan dll. Meritokrasi dapat meningkatkan stabilitas serta kemajuan terhadap pertumbuhan daerah bahkan negara. Lingkungan yang tidak berkompetisi akan melahirkan jiwa-jiwa yang tidak berkompetensi. Namun kompetisi harus tetap pada jalur yang baik juga benar dan harus sesuai prosedur.