Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menulis, bahwa kita semua adalah pejuang antikorupsi. Siapapun kita, jika kita merasa sebagai bagian dari warga negara Indonesia, apalagi seorang aparatur sipil negara, maka menyuluh dan memperjuangkan antikorupsi menjadi sebuah kewajiban. Korupsi masih menjadi wajah buram birokrasi kita. Tapi ASN justru harus tampil sebagai cahaya—role model integritas di sektor publik.
Perjuangan yang dilakukan tidaklah seragam, dan tidaklah harus berjibaku di pengadilan atau mengungkap kasus korupsi. Tapi banyak jalan yang bisa dilakukan menuju Indonesia bebas dari korupsi. Misalnya, saya sebagai seorang ASN (widyaiswara), dan penyuluh antikorupsi maka dalam menjalankan kewajiban dan tugas, harus mengedepankan integritas, tidak melakukan perilaku koruptif, serta tindak pidana korupsi. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi BirokrasiNomor 38 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Jabatan Aparatur Sipil Negara, Integritas merupakan salah satu dari delapan kompetensi manajerial yang harus dimiliki oleh ASN. Tingkat berapakah level integritas kita saat ini? Apakah kita sudah menjadi role model, konsisten bagi diri sendiri, kadang bimbang, mengarah ke pelanggaran, atau terbiasa untuk tidak berintegritas? Lalu, bagaimana seorang ASN bisa berkontribusi dalam pemberantasan korupsi? Bagaimana menjadi role model di sektor publik?
Sebelum kesana, mari kita awali dengan fakta menarik dan miris, bahwa berdasarkan rilis dari Humas Komisi Pemberantasan Korupsi, bahwa tindak pidana korupsi dalam skala 20 tahun berdasarkan tipe instansi, terbanyak adalah di pemerintah daerah khususnya kabupaten/kota, diikuti oleh kementerian/lembaga dan pemerintah provinsi. Sedangkan apabila berdasarkan profesi/jabatan, jabatan Eselon I-IV adalah terbesar kedua setelah swasta, yaitu sebanyak 443 kasus. Selain itu, jika dilihat berdasarkan jenis perkara, gratifikasi dan penyuapan paling banyak terjadi di angka 1068 kasus.
Hal ini menjadi tantangan bagi sektor publik dengan ASN sebagai motor penggeraknya, bahwa potensi korupsi dan perilaku koruptif sangat tinggi di birokrasi. Jalan panjang ini semoga menemukan titik cerah dan solusi terbaik, mengingat pemberantasan korupsi masuk menjadi bagian dari 8 misi asta cita, yaitu memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi, narkoba, judi, dan penyelundupan.
Dalam hal ini, kita harus sepakat bahwa korupsi bukan budaya, korupsi bukan kebiasaan, korupsi bukan jalan pintas, korupsi adalah kejahatan luarbiasa. Oleh karena itu, untuk memberantasnya perlu Gerakan antikorupsi/integritas yang terorganisir dan luar biasa pula. Sudah sejauh mana pemberantasan korupsi berhasil dilakukan? Terdapat 3 indikator umum yang biasa digunakan untuk melihat keberhasilannya. Dari dunia global, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2024, di peringkat 99, sama seperti 1 dekade lalu, dengan skor 37. Sedangkan Survei Penilaian Integritas adalah survei nasional yang diselenggarakan oleh KPK untuk memotret integritas lembaga publik (dicerminkan oleh Indeks Integritas Nasional) berdasarkan pengalaman dan persepsi masyarakat (pengguna layanan), pegawai, serta ekspert (ahli). Berdasarkan hasil survei, Indeks Integritas Nasional 71,53. Angka tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih sangat rentan korupsi. Sedangkan survei yang dilakukan oleh BPS terkait Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2024 sebesar 3,85 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih rendah dibandingkan capaian 2023 sebesar 3,92. Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi, sebaliknya nilai indeks yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi.
Berbagai pengetahuan tersebut merupakan amunisi bagi kita, khususnya ASN, agar mampu memetakan kondisi Indonesia. Samuel Johnson, seorang penulis dan esais kebangsaan Inggris, pernah mengatakan bahwa “Integrity without knowledge is weak and useless, and knowledge without integrity is dangerous and dreadful”. Maka dalam menjalankan integritas, kita perlu memiliki pemahaman yang utuh terkait pemberantasa korupsi. Berdasarkan Komisi Pemberantasan Korupsi, ada 3 cara memberantas korupsi, yaitu penindakan (pengungkapan hukum oleh APH) dengan tujuan agar orang jera untuk korupsi; pencegahan (perbaikan sistem, biasanya sistem dalam pemerintahan) agar orang tidak bisa korupsi; dan yang ketiga adalah pendidikan (kampanye dan gerakan membangun integritas) agar orang tidak mau korupsi.
Pencegahan dan pendidikan merupakan ranah yang bisa dilakukan oleh ASN untuk membangun gerakan integritas yang terstruktur untuk melawan korupsi yang sistematis. Pada dasarnya, integritas merupakan konsistensi antara apa yang dipikirkan, apa yang ucapkan, dan apa yang dilakukan, tentunya hal yang baik-baik. Jika integritas ini dilakukan bersama-sama maka sebagai ASN akan mampu tegak berdiri, dan mampu melawan dan menghadapi dilema integritas. Selain itu, independensi merupakan hal yang penting. Independensi adalah sesuatu yang besar, karena banyak atau sebagian instansi pusat maupun daerah, ada doktrinisasi, terkait apa itu loyalitas? jika atasan , pimpinan menyalahi aturan, maka jangan diikuti dan jangan loyal. Pada dasarnya, seorang ASN loyal kepada UUD 1945, Pancasila, karena di dalamnya ada nilai-nilai kebajikan, kebenaran, setia kepada bangsa dan negara, masyarakat, bukan atasan atau pimpinan.
Lalu, bagaimana menjadi role model di sektor publik? Sebagai seorang ASN, kita harus menghindari perilaku koruptif dan tindak pidana korupsi. Perilaku koruptif adalah hal yang melanggar nilai-nilai integritas, misalnya tidak jujur, melanggar janji, berkendara tanpa helm, membuat SIM dengan jalur pintas, dsbnya. Selain itu, tidak pidana korupsi terkait 7 delik mulai dari kerugian keuangan negara, penyuapan, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, kecurangan, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan asa, serta gratifikasi.
Pengelolaan Konflik Kepentingan dan Pengendalian Gratifikasi
Pada tulisan ini, saya fokus pada dua hal yang menjadi potensi cukup besar dilakukan oleh ASN, yaitu penanganan konflik kepentingan dan pengendalian gratifikasi.
Ada beberapa hal penting yang perlu disadari bahwa
Munculnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Konflik Kepentingan, dikaitkan dengan banyaknya kasus korupsi di lingkungan ASN, konflik kepentingan seringkali menjadi awal mula terjadinya korupsi, konflik kepentingan dapat menjadi mempengaruhi objektivitas dan keberpihakan dalam pengambilan keputusan.
Konflik kepentingan adalah situasi di mana terjadi pertentangan antara kewajiban atau tanggung jawab jabatan yang dipercayakan kepada seorang ASN, dengan kepentingan pribadi yang dimilikinya. Dalam permenpan tersebut, tertulis bahwa konflik kepentingan adalah suatu kondisi pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang yang dapat mempengaruhi netralitas, kualitas keputusan, dan tindakan yang dilakukan. Pengelolaan konflik kepentingan adalah upaya yang dilakukan untuk mengelola proses pengambilan keputusan dan/atau tindakan administrasi pemerintahan.
Sumber konflik kepentingan berasal dari berbagai cara, yaitu bisa berasal dari kepentingan bisnis, hubungan dengan keluarga, hubungan afiliasi, pekerjaan di luar pekerjaan pokok, rangkap jabatan, penggunaan pengaruh dari jabatan lama, dan penerimaan hadiah/gratifikasi di luar ketentuan. Posisi yang biasanya rentan dengan konflik kepentingan adalah di bidang perencanaan, pembuatan aturan dan kebijakan, pengadaan barang dan jasa, kebijakan manajemen SDM, dsbnya.
Lalu, bagaimana cara pengelolaan konflik kepentingan? Pertama kali, pasti kita harus mengidentifikasi konflik kepentingan, yaitu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang ASN dimulai dengan kemampuan mengidentifikasinya dan kemudian memitigasinya. Selain itu, perlu ada pengawasan dan apresiasi untuk meningkatkan partisipasi dan keterlibatan pejabat pemerintahan tertentu.
Dilema integritas terkait konflik kepentingan menjadi hal yang sering diperbincangkan oleh peserta pelatihan, baik di level CPNS, pelaksana, pejabat pengawas dan pejabat administrator. Tantangan untuk bisa independen cukup besar, karena beberapa tekanan yang dihadapi. Kita berharap dengan adanya regulasi ini, dan perbaikan sistem di berbagai aspek, bisa membuat ASN lebih independen dan tidak terjebak dalam dilema integritas, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan diri atau golongan.
Selain konflik kepentingan, saya ingin menyorot salah satu tindak pidana korupsi yaitu gratifikasi. Banyak yang tidak tahu, termasuk aparatur sipil negara, terkait gratifikasi sebagai salah satu delik korupsi. Berdasarkan Undang-Undang Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 juncto, gratifikasi adalah segala pemberian dalam arti luas yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, yang bisa dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban tugasnya.
Hoegeng Iman Santoso, teladan integritas kita, mengatakan bahwa pantang terima jabatan karena jabatan. Maka ini relevan sekali dengan gratifikasi, karena sejatinya akar masalah korupsi adalah gratifikasi, sedangkan akar masalah gratifikasi adalah diskriminasi pelayanan publik, dan rusaknya cara berpikir. Mungkin kita mulai dengan pertanyaan, “Seandainya saya bukan............, Apakah Saya akan diberikan sesuatu? Jadi banyak yang mengatakan ini cuma ucapan terima kasih, atau sekedar oleh-oleh, padahal dibaliknya terselubung maksud tanam budi. Dalam peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi, telah diatur, ada 17 jenis gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan, di luar 17 poin tersebut, maka harus ditolak dan dilaporkan.
Atas hal tersebut, maka integritas harus terus ditegakkan, di tengah tekanan, dilema, meyakini bahwa pelayanan kepada publik, kepada bangsa dan negara adalah bentuk pengabdian. Selalu mulai dari hal sederhana, hal kecil, namun prinsip dan membentuk karakter. Misal sudahkan kita bersikap jujur, berbudaya tepat waktu, budaya antri, menggunakan helm saat naik motor, memiliki SIM saat berkendara, dsbnya.
Pada dasarnya, kita sedang membangun gerakan integritas, dengan membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa. Dengan integritas, independensi, konsistensi, loyalitas kepada bangsa dan negara, maka hal ini pasti bisa dilakukan. Kalau mengutip kata Bung Hatta, bahwa “Setiap perbuatan adalah demi negara yang dicintai. Janganlah berkhianat”.
Maka, sebagai manusia dan ASN, kita akan benar-benar merasa merdeka, jika mampu berintegritas dan independen dalam pikiran, kata, dan tindakan sebagai role model. Mari terus mengembangkan sistem yang kuat dan memperkuat komitmen bersama dalam memberantas korupsi serta mendorong integritas di sektor publik. Mari kita mulai dari diri sendiri, dari hal kecil yang konsisten, hingga menjadi teladan besar bagi bangsa. ASN berintegritas, Indonesia bermartabat. []
#aksaraAbdimuda