Dalam dunia birokrasi, kepemimpinan adalah tulang punggung. Baik-buruknya sebuah institusi sering kali bukan karena kurangnya aturan, melainkan karena lemahnya arah dan keteladanan dari pimpinan. Namun, satu tantangan besar yang kini muncul dalam dinamika kepemimpinan birokrasi modern adalah fenomena yang saya sebut sebagai “kepemimpinan baper”: ketika sensitivitas pribadi lebih menonjol daripada kapabilitas profesional.
Di berbagai instansi, tak sedikit pimpinan yang merasa terganggu bukan karena buruknya kinerja staf, melainkan karena adanya usulan, kritik, atau masukan yang dianggap sebagai bentuk perlawanan. Padahal, dalam lingkungan kerja yang sehat, kritik bukan ancaman, justru cermin.
Alih-alih bersikap terbuka dan membangun ruang partisipatif, gaya kepemimpinan seperti ini justru menciptakan atmosfer yang mengekang. ASN menjadi ragu untuk menyampaikan ide atau membenahi masalah karena khawatir dianggap ‘tidak loyal’. Birokrasi akhirnya kehilangan daya kritis dari dalam.
Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari kultur birokrasi yang masih menyisakan pola feodal: atasan tak boleh dibantah, keputusan tidak bisa digugat, dan “asal bapak senang” masih menjadi mantera sakti. Dalam situasi seperti ini, kemampuan teknis dan pemikiran rasional sering kali tak berarti bila tak dibarengi relasi emosional yang "aman" dengan atasan.
Seorang ASN pernah bercerita, ia mendapat teguran karena menyampaikan ide perubahan dalam rapat, meski dengan sopan dan disertai data. Sang pimpinan merasa 'dilampaui', bukan didukung. Situasi seperti ini tak hanya menghambat inovasi, tapi juga membunuh semangat profesionalisme.
Menjadi pemimpin di sektor publik bukan sekadar soal jabatan, melainkan tentang menjadi fasilitator perubahan. Ia harus siap dikritik, ditanya, bahkan dibantah—bukan karena otoritasnya diragukan, tapi karena tanggung jawabnya diuji. Seorang pemimpin yang kuat justru hadir dengan ketahanan emosional, bukan kerapuhan yang ditutupi amarah.
Kepemimpinan bukan tentang menjaga wibawa dengan jarak, melainkan merawat kepercayaan dengan keterbukaan. Di era keterbukaan informasi dan reformasi birokrasi, gaya kepemimpinan yang reaktif terhadap kritik adalah anomali yang tak bisa dipertahankan.
Pemimpin yang berdaya bukanlah mereka yang anti-kritik, tapi yang tahu cara merespons kritik dengan bijak. Ia bukan hanya mengatur, tapi mendengar. Ia tak hanya memberi instruksi, tapi juga memberi ruang.
Menjadi pemimpin birokrasi berarti menyadari bahwa kinerja organisasi tak bisa digerakkan dengan rasa tersinggung, tetapi dengan sistem yang kuat, komunikasi yang sehat, dan kepemimpinan yang mampu menginspirasi. Ketika pemimpin sibuk menjaga perasaannya, maka yang tumbuh adalah budaya takut. Tapi jika pemimpin fokus membangun sistem, maka yang berkembang adalah profesionalisme.
Di tengah tuntutan pelayanan publik yang makin kompleks, birokrasi membutuhkan pemimpin yang tahan uji, bukan mudah tersinggung. ASN hari ini adalah insan-insan yang punya kapasitas, dan mereka ingin ruang untuk berkembang, bukan hanya ruang untuk disuruh.
Mari kita tinggalkan gaya kepemimpinan yang baper dan membangun kepemimpinan yang benar-benar berdaya. Karena hanya dengan cara itu, birokrasi bisa menjadi motor perubahan, bukan sekadar mesin pelaksana rutinitas.