Andai (Bisa) Ku Berintegritas

Gambar sampul Andai (Bisa) Ku Berintegritas

 - Satu orang yang berintegritas dapat membuat perbedaan (Elie Wiesel) -

Integritas Sejak Dini

Sejenak bersantai menyeruput kopi arabika, hangat dan aromanya menambah optimisme dan memulai hari baik ini dengan membaca salah satu buku Seri Tunas Integritas berjudul ‘Ya Ampun’ diterbitkan oleh Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK terbit tahun 2012. Buku cerita untuk anak usia sekolah dasar, kisahnya pun lucu-lucu seperti ‘Gaun Putri Rara’, Serbuk Ajaib Flo’, ‘Kerjakan Segera Putri’, Sayap Mini Remi’, dan ‘Ya Ampun Sabar Dong’. Buku ini ditulis oleh orang dewasa buat anak yang seusia adik atau anaknya yang masih berseragam sekolah. Tampilan bukunya dibuat menarik mirip komik, penuh gambar berwarna yang memanjakan mata dan menantang imajinasi.

Ketika membaca buku ini, kita akan sering menemukan pesan yang jelas tentang pentingnya integritas. Sikap Jujur, Berani, Bertanggung Jawab, Disiplin, dan Peduli selalu tersirat dan berulang dalam ragam cerita. Meskipun bagi anak usia sekolah dasar, masih sulit mencerna kata integritas namun sejak dini mereka akan terbiasa dengan nilai-nilai etis dari integritas itu.

Nilai-nilai integritas dalam buku ini, memberikan banyak persfektif bahwa cara kita memahami integritas dapat belajar dari ragam aktivitas, misalnya; nilai integritas dari kearifan lokal, lingkungan kerja, jabatan/profesi yang ditekuni, lingkungan tempat tinggal, di ruang keramaian, atau dari pengalaman orang lain.  Mengingat, masih banyak orang tidak dapat mencerna dengan cepat esensi dari integritas kecuali kerap disematkan bagi kalangan profesional, pemangku kebijakan, atau pejabat bahwa oknum yang korup dicap ‘tidak berintegritas’.  

Integritas nampak belum sepenuhnya dimaknai sebagai nilai organisasi sehingga berpotensi keliru menafsirkan, terabaikan bahkan menimbulkan dilema etis. Memahami integritas bisa melalui literatur teks, berbagi ide, gagasan, cerita atau pengalaman yang semuanya akan melestarikan penghayatan kita terhadap nilai integritas. Perlu ditegaskan lagi, tidak perlu menunggu dewasa untuk memahami pentingnya integritas, mulai saja sejak dini.

Andai Ku Berintegritas  

Mari kita lanjutkan di ruang imajiner dengan berandai-andai dan menghadirkan sosok anak kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 5, sebut saja namanya ‘Dakuri’, bocah lincah, usil, periang, namun terkadang suka menyendiri dan merenung sendiri. Dakuri kecil menelusuri lorong kelas dan mengajak beberapa temannya menuju perpustakaan sekolah di sela waktu istirahat. Di ruang perpustakaan yang agak pengap, kawannya larut memandangi foto pahlawan nasional kemudian mencoba menembus sejarah dan membuat cerita seakan ia berada dalam situasi yang penuh pergolakan, kemudian yang lain memperhatikan peta lalu membayangkan dirinya mengarungi samudera bagai nakhoda agar kelak bisa menguasai dunia. Sedangkan Dakuri, meraba deretan buku dan melepaskan penerawangannya berharap menemukan pintu menuju masa depan. 

‘Hai Dakuri, berhenti dan menolehlah ke belakang’, seketika juga Dakuri mengikuti bisikan di kepalanya dan pandangannya tertuju pada buku Seri Tunas Integritas berjudul ‘Ya Ampun’ di meja guru yang baru saja dikembalikan oleh kakak kelasnya. Buku itu seakan memiliki gaya gravitasi yang sangat kuat sehingga mengarahkan keputusan Dakuri meminjam buku itu, sembari bergumam ‘kau akan ku lahap menjelang tidur malam ku’.

Berlalu 13 tahun, sejak buku itu diterbitkan, usia Dakuri pun mencapai dewasa. Sejauh perjalanan hidupnya, Dakuri terus merenungi dan berupaya menerapkan nilai-nilai etis integritas. Kini, Dakuri pun hadir di ruang sempit meja kerja bercampur dengan rekan ASN yang lebih senior karena tahun ini ia berhasil memenangkan kesempatan menjadi abdi negara dan berpotensi membuat perbedaan.

Terus berandai, Dakuri dewasa memiliki pemikiran yang matang, ia tampil lebih menonjol diantara rekan kerjanya, tidak segan menceritakan ide maupun gagasannya membudayakan nilai-nilai integritas di setiap aktivitas kerja, bahkan mengawalinya dengan menunjukkan teladan. Tujuannya hanya satu yaitu menciptakan kinerja optimal dengan memberdayakan seluruh sumber daya yang transparan, akuntabel, efektif, dan efisien serta memiliki kebermanfaatan yang berkelanjutan. Sungguh harapan yang mulia, meski tidak asing dan kerap menghiasi setiap rancangan program tahunan. Namun, semua mustahil dapat dicapai apabila pelaksanaannya tidak didasari oleh prinsip-prinsip etika kerja yang profesional sebagai bagian dari nilai integritas.

Sepertinya dalam diri Dakuri, urusan integritas telah selesai, namun ia khawatir tentang daya tahan dan sifat kerentanannya, ketika ia hanya berdiri sendiri seakan berteriak di ruang hampa nan sunyi. Dakuri paham kalau sebuah perubahan harus didukung banyak pihak, dilakukan secara berjamaah dan seharusnya menjadi budaya yang terlembagakan.

Sampai disini, kehangatan kopi sudah pudar, tapi pekatnya tetap memberi rasa, perlahanpun keluar dari ruang imajiner dan meninggalkan cerita Dakuri dengan pergolakan integritasnya menuju ke ruang realitas yang penuh kepahitan tapi tak senikmat kopi arabika.

Bisa Ku Berintegritas

Dialog imajiner tentang Dakuri, sekedar berandai ‘andai saja ada dan bisa seperti itu’. Layaknya orang yang berandai, tentu tersirat harapan bisa jadi kenyataan bahwa nilai integritas menjadi kekuatan mengendalikan bahkan mengembangkan organisasi. Kita tentu pernah menemukan kondisi organisasi tempat kita menua dan mengabdi terus berupaya meningkatkan kinerja layanan agar berdampak positif dan mendapat kepercayaan publik. Tentu, bukanlah hal yang mudah karena seluruh sumber daya terus dioptimalkan, penilaian kinerja ditingkatkan, bahkan sistem pengawasan pun diperketat.

Sisi lainnya, ketika seorang diantara kita mengabaikan pentingnya menjaga integritas, maka akan menjadi celah dan asal mula pelanggaran etika organisasi dan kepentingan publik. Penyelahgunaan kewenangan, pelanggaran atas peraturan, kelalaian, kesengajaan, sampai pada tindakan koruptif menghiasi buruk rupa birokrasi kita dan sebabnya hanya satu kata ‘integritas’. Ya, integritas yang tidak dijaga, tidak dibudayakan/dilembagakan, tidak menjadi landasan yang kuat untuk bertindak dan mengambil keputusan. Hasilnya, fondasi organisasi yang telah dibangun seakan runtuh menyebabkan citra organisasi retak dan memburuk bahkan seluruh kinerja terbaik organisasi dipertanyakan. 

Integritas menuntut konsistensi dan kesatuan antara pola pikir, perasaan, ucapan dan perilaku selaras dengan hati nurani dan norma yang berlaku di lingkungan organisasi serta hubungan sosial. Apabila kita melirik kembali perjalanan integritas Dakuri maka dibutuhkan upaya mulai dari membangun kesadaran diri, meluruskan pemahaman individu, mendapat dukungan komitmen bersama, hingga menjadikan integritas sebagai budaya yang memiliki nilai tambah bagi perkembangan organisasi.

Mari kita ulas setiap tahapan membangun budaya integritas sekaligus membantu Dakuri memetakan setiap tahapan tersebut, pertama melalui peningkatan kesadaran. Awal kesadaran manusia terbentuk melalui aktivitas berpikir yang melibatkan emosi dan motivasi sehingga akan mempengaruhi respon terhadap lingkungan kerja. Ketika informasi yang diterima dibawah kendali positif maka kecenderungan kita melakukan tindakan positif, sebaliknya juga demikian. Olehnya, penting optimalisasi dan massifitas issu integritas melalui media KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) dilancarkan, memenuhi setiap sudut ruang kerja, disampaikan dalam ruang rapat, atau diselipkan dalam setiap obrolan bahkan candaan di kantin kantor.

Kedua, belajar dari pengalaman. Dibanyak situasi dan kondisi, kejadian penyelahgunaan kewenangan, pelanggaran atas peraturan, kelalaian, kesengajaan, sampai pada tindakan koruptif memberi pengalaman yang menarik, mulai dari kesempatan, niat, modus, pihak yang dilibatkan, sampai dampak kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan. Dari pembelajaran dan pengalaman tersebut, kita tingkatkan kemampuan kontemplasi untuk menumbuhkan kesadaran risiko integritas. Mendalami pembelajaran dan pengalaman dapat dilakukan secara formal ataupun mandiri.

Ketiga, dukungan strategis. Memudahkan mendapat dukungan strategis, sebaiknya dimulai dengan menginisiasi gerakan integritas berbasis komunitas kreatif sampai meilbatkan dukungan manajemen (top, middle, lower). Puncak dukungan adalah komitmen semua pihak dan tingkat manajemen untuk melestarikan budaya integritas dalam organisasi.

Tiga tahap ini tentu saja belum ranum dan perlu dikembangkan, sekedar menuai pikiran dan gagasan karena teringat ungkapan Descartes ‘Cogito Ergo Sum’ (aku berpikir, maka aku ada). Minimal dengan secuil pikiran ini, integritas terjaga dimulai dari keadaan diri sendiri.

Penanda Integritas

Masih teringat dengan Dakuri yang memiliki kehendak melakukan perubahan besar dengan berbekal nilai-nilai integritas. Sepertinya ia memahami betul ungkapan ‘Et Volo, Ergo Sum’ (aku menghendaki, maka aku ada) sekaligus menghubungkan potongan pidato Elie Wiesel seorang novelis, filsuf dan humanitarian saat menerima Nobel Peace Prize tahun 1986 mengatakan ‘satu orang berintegritas dapat membuat perbedaan’. Bolehlah kita menambahkan sesuai impian Dakuri bahwa semua orang perlu untuk bercerita, punya harapan, dan tidak cukup hanya menjadi pembeda. Namun, berani dan lantang menyuarakan ‘bersama orang-orang berintegritas, kita buat perubahan’.

Akhirnya, siapapun kita, baik yang menuangkan coretan ini atau yang membacanya akan menjadi penanda bahwa kita cenderung memiliki harapan besar menjadikan nilai-nilai integritas bagian tak terpisah dari perubahan besar. Meskipun, awalnya kita hanya berandai menjadi pembeda seperti judul di awal ‘andai ku berintegritas’, namun tujuan yang diharapkan adalah menginspirasi kita memulai langkah membuat perubahan dan yakin ‘bisa ku berintegritas’.

#AksaraAbdimuda

Bagikan :