AKSARA, AKSI SUARA VIA RANGKAIAN KATA

Gambar sampul AKSARA, AKSI SUARA VIA RANGKAIAN KATA

Suatu sore akhir pekan menjelang penghujung bulan, rutinintas yang dilakukan paksu atau biasa disingkat bapak suami seperti biasa yaitu menjemput anak sekolah dan istri bekerja. Kendaraan berlalu lalang, mesin diesel menderu-deru kencang, suara knalpot bising, bunyi klakson bersahutan, asap membumbung tinggi di langit sore menyemburat memerah. Menjelang maghrib sayup-sayup suara ceramah agama yang diperdengarkan melalui menara pengeras suara makin lantang, “ah suara pak Zainudin MZ” gumamku dalam hati.

Hiruk pikuk keramaian orang-orang yang lelah akan rutinitas dan bersiap pulang tergambar jelas dari raut wajah. Rasa lelah seharian beraktivitas juga kualami tetapi seketika hilang tatkala istri mulai terlihat berjalan santai muncul dari balik pagar perkantoran yang menjulang tinggi, pulang, tetapi raut muka sedikit cemberut masam tanda ia juga lelah dengan rutinitasnya tetapi buru-buru disembunyikan dengan menampakkan senyum simpul.

Sembari berkendara membelah jalanan kota besar yang telah dipenuhi kendaraan, peluan hangat, obrolan ringan sembari melontarkan kalimat canda serta tawa menghiasi perjalanan pulang sore itu. Gedung bertingkat yang mulai menggapai langit ibukota tumbuh menjamur menandakan menggeliatnya perekonomian pengusaha pasca gempuran wabah penyakit Covid-19. Cerita rutinitas disertai ulasan singkat, pembahasan logis jadi bumbu cerita menemani perjalanan.

“itu loh si B bertemu saya saat mau pulang tadi lagaknya terburu-buru beresin berkas tanpa sengaja terlihat amplop putih tebal pemberian seseorang yang ditemuinya”, kalimat pembuka obrolan santai sore itu. Lalu diteruskan dengan “bapak N sudah beberapa hari tidak hadir serta tidak pernah ikut apel, tetapi absensinya selalu baik, apa gak dapat sanksi ya?

Inilah sekelumit cerita yang lumrah terdengar saat ini hampir pada semua sektor birokrasi pemerintahan pada negeri ini. terlalu sakit mengingatnya saat masyarakat menitipkan amanah yang besar pada punggawa birokrat negeri ini untuk melayani setulus hati dengan sumbangsih mereka terhadap pajak yang selalu dibayarkan mereka setiap tahun. Apakah kebiasaan ini sudah terlalu mendarah daging sehingga sulit untuk dipangkas dari akarnya. Tetapi sebenarnya perbaikan bisa dilakukan dari sekarang asal jurdil, jujur dan adil dalam memilah serta bertindak sehingga tidak menimbulkan efek negatif kedepannya.

Pegawai negeri sipil Indonesia saat ini sebanyak 4.376.349 orang tersebar dalam kementerian atau lembaga serta unit kerja. Abdi negara direkrut melalui mekanisme ujian Computer Assisted Test (CAT) digagas oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi guna mewujudkan profesionalisme agar dapat dilihat serta dinilai kemampuan peserta yang nantinya akan menjadi pegawai negeri sipil.

PNS atau Pegawai Negeri Sipil adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian sebagai pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) secara tetap untuk menduduki jabatan pemerintahan. PNS berperan sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayanan publik, serta perekat dan pemersatu bangsa, serta memiliki masa kerja hingga usia pensiun dan hak-hak tertentu.

Pelayanan publik merupakan konsep yang diberikan negara terhadap pegawai negeri untuk membantu menerapkan aturan yang telah ditetapkan sehingga fungsi negara dapat terlaksana serta dapat menciptakan kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik. Demikian pada hakikatnya seorang ASN merupakan “abdi rakyat” yang diberikan mandat untuk mengelola negara sebaik mungkin agar dapat berjalan dengan baik.

“Karena nila setitik rusak susu sebelanga”, sebuah ungkapan yang menggambarkan keadaan birokrasi pemerintahan saat ini. Masih ada berita mengenai instansi di negeri ini dimana terdapat oknum yang tidak mau menjalankan tugas dan fungsinya sebagai ASN. Masyarakat dibuat geram, marah dan muak, tertutupi oleh kinerja oknum yang telah mengabdi dengan baik.

Mindset yang tertanam sejak dahulu kala dengan sebutan umum “sudah dari dulu seperti itu adanya” menjadi jargon bagi mereka yang tidak mau merubah pola kerja. Hasrat dan keinginan untuk tetap berada pada zona nyaman menjadikan kebiasaan yang terus berulang sampai saat ini. Kebiasaan ini akhirnya akan bermuara pada kelesuan tunas muda birokrat untuk berinovasi memajukan instansi mereka bernaung. Semangat rasa pengabdian perlahan luntur melihat keadaan bahwa perkara ini sangat mustahil untuk dilaksanakan. Mengingat keadaan yang memaksa untuk tetap taat perintah dan tidak melampaui batasan yang telah ditetapkan. 

Apabila masalah ini berlarut maka pola lama akan kembali berulang terus menerus tanpa ada perbaikan. Sumber daya manusia yang tersedia hanya akan menjadi semacam penghias bangku birokrasi tanpa ada kontribusi nyata bagi masyarakat. Bahaya laten bagi birokrasi negeri ini yang sudah sangat “gemuk” pada jumlah instansi tetapi saat ini belum menunjukkan perubahan signifikan.

Lalu budaya “3 S” identik dengan “Senyum Salam Sapa” menjadi “Selip Sini Saja” masih belum bisa lepas sepenuhnya. Berbagai alasan penyebab masalah ini yang bilamana dijabarkan terdapat saling keterkaitan didalamnya. Masalah ini timbul karena merupakan bentuk kelalaian dan abai dalam memutuskan sebuah tindakan. salah satu masalahnya ialah faktor ekonomi serta faktor non teknis lainnya.

Apa keterkaitannya dengan ASN? Profesi ASN merupakan pengabdian bagi negara dalam menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik yang diharapkan dapat terciptanya kondisi stabilitas dalam negeri serta dapat menunjang kegiatan lainnya. Profesi mulia hanya mengharapkan penghasilan cukup guna mensejahterakan keluarga, bukan untuk menjanjikan kekayaan secara turun temurun. Permasalahan ini pada akhirnya akan menjadi “fenomena gunung es” dikarenakan mengapa masih banyak sekali praktek “3 S” sampai saat ini.

Lalu faktor non teknis selanjutnya ialah terjadinya benturan sosial dan politik yang juga berpengaruh pada aspek kehidupan. Benturan sosial yang berupa hidup bermewahan dapat menarik perhatian publik, serta menggunakan aksesoris yang tidak wajar sehingga terjadi kecemburuan sosial di lingkungan rumah maupun tempat kerja yang pada akhirnya mempengaruhi kinerja.

Benturan politik yang biasa disebut “conflict of interest” atau konflik kepentingan nantinya akan menimbulkan pengelompokkan antar pendukung atau faksi sehingga tercipta jarak. Rasa tidak puas karena banyak sekali pendapat yang terkadang tidak sejalan menyebabkan terjadi riak-riak kecil disertai pemberontakan jika tidak diatasi dengan bijak. Pimpinan harus dapat mengelola dengan bijaksana agar organisasi tetap hidup dan terus berjalan agar persatuan kesatuan tetap terjaga agar sesuatu yang berbau politik kepentingan tidak terjadi.

Hambatan ini menjadikan tantangan tersendiri pada instansi dalam menata kelola strukturalnya pada setiap level. Perbaikan sistem kerja berbasis wilayah bebas korupsi dan wilayah bebas birokrasi melayani sudah tepat. Jika target yang diminta sudah terlaksana maka tunjangan kinerja akan dibayarkan sesuai.   

Perbaikan pemilihan sumber daya manusia melalui sistem meritokrasi dimana ASN handal ditempatkan pada posisi yang “diharapkan” sudah baik dan harapannya tentu tidak ada lagi sesuatu yang bersifat “aji mumpung” agar tidak ada lagi praktik kecurangan. Penerapan sanksi hukuman disiplin tanpa ampun bagi ASN “bermasalah” sudah cukup tegas dan tepat sasaran. Lalu publik sudah bisa ikut berpartisipasi dalam menilai kinerja instansi melalui pengisian kuisioner survei kepuasan pelayanan.

Harapan besar semoga perbaikan-perbaikan kecil ini bisa memberikan impact bagi instansi agar terus mau menerima kritik dan saran membangun serta mampu menumbuhkan minat birokrasi muda untuk terus semakin berinovasi dan berkarya agar dapat memajukan bangsa Indonesia. Akhir kata seorang dosen pernah memberi nasihat kepada mahasiswanya, “kamu membenci orang atau perilaku (korupsi) karena kamu tidak berada pada posisinya saat itu, tetapi akan jadi hebat jika kamu berada pada posisinya tetapi tidak mau melakukan korupsi”.

“Cukupkan logistik pasti beri yang terbaik”, ungkapan pas untuk menggambarkan apa yang dirasakan oleh ASN masa kini. Kinerja baik mereka seharusnya patut diapresiasi dengan salary mencukupi. Tenaga pendidikan dan kesehatan bisa mendapatkan porsi lebih karena membantu mensukseskan program pemerintah tanpa melupakan peranan tenaga teknis pada instansi lainnya. Demikian kinerja mereka otomatis akan terkerek dengan sendirinya mengingat negara sudah memberi sesuai porsinya dan masyarakat menjadi pengawas atas kinerjanya.

Sebagai seorang ASN yang mengemban amanah dalam mengelola negara hendaknya bekerja lebih tulus sembari juga mengharapkan fulus serta berharap bonus. Bekerja tulus merupakan sebuah keharusan bagi ASN, tak kenal lelah, pantang menyerah semangat membangun negara. Fulus ialah bentuk imbalan dari negara sebagai jasa atas pekerjaan yang dilaksanakan sehingga bisa mencukupi kebutuhan guna mensejahterahkan kehidupan keluarga. Bonus diharapkan setelah berusaha mengatasi masalah melalui solusi serta aksi yang akan menjadi ladang amal sehingga nantinya akan tercipta relasi yang baik serta mendapat rekan kerja yang baik akan mendatangkan kesehatan jasmani dan rohani. 

#AksaraAbdimuda

 

 

Bagikan :
Tag :
-