Korupsi adalah luka lama yang terus membebani perjalanan bangsa. Ia bukan sekadar tindak pidana, melainkan penyakit budaya yang menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap negara. Dampaknya begitu luas: pembangunan terhambat, pelayanan publik terdistorsi, dan yang paling serius, legitimasi pemerintah terancam.
Awal 2025, publik kembali diguncang oleh serangkaian kasus besar. Dugaan korupsi Pertamina dengan potensi kerugian mencapai Rp 968,5 triliun, skandal pengadaan Chromebook senilai Rp 9,9 triliun, serta penyalahgunaan pembiayaan di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) hingga Rp 11,7 triliun, hanyalah sebagian dari potret suram birokrasi kita.
Akibat-akibat dari kasus ini begitu nyata:
Pertamina: Korupsi di sektor energi membuat harga BBM semakin membebani rakyat, subsidi energi tersedot, dan keuangan negara kehilangan ruang fiskal untuk membiayai pendidikan serta kesehatan. Dampaknya merembet pada naiknya biaya hidup masyarakat kecil.
Chromebook: Proyek pengadaan yang tidak tepat sasaran membuat ribuan perangkat mangkrak di sekolah-sekolah, sementara siswa di daerah terpencil tetap kesulitan mengakses fasilitas belajar digital. Kerugian tidak hanya finansial, tetapi juga hilangnya kesempatan pendidikan yang lebih baik bagi generasi muda.
LPEI: Penyalahgunaan pembiayaan ekspor melemahkan kepercayaan investor dan dunia usaha, menekan pelaku UMKM yang seharusnya mendapat dukungan, serta memperlambat daya saing Indonesia di pasar global.
Kasus-kasus ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga memperdalam rasa kecewa rakyat terhadap elite dan birokrasi.
Grafik IPK menunjukkan bahwa skor Indonesia cenderung stagnan dalam enam tahun terakhir. Tahun 2019 Indonesia sempat mencatat skor 40, namun kemudian menurun menjadi 37 pada 2020, stagnan di angka 38 pada 2021, lalu anjlok ke 34 pada 2022–2023. Tahun 2024 memang ada perbaikan kecil dengan skor 37, tetapi capaian ini belum mampu mengembalikan posisi Indonesia ke level terbaiknya.
Penurunan ini memperlihatkan dua hal penting:
Reformasi antikorupsi berjalan di tempat. Upaya pemberantasan korupsi belum mampu mengubah persepsi publik, apalagi menghadirkan perubahan struktural.
Kasus-kasus besar justru memperdalam ketidakpercayaan. Skandal di sektor energi, pendidikan, dan keuangan negara yang mencuat di awal 2025 semakin memperkuat persepsi bahwa korupsi masih menjadi budaya dalam birokrasi.
Dengan posisi di peringkat 99 dari 180 negara, Indonesia berada jauh di bawah beberapa negara ASEAN lain seperti Singapura (skor 83) atau Malaysia (skor 47). Fakta ini menegaskan bahwa korupsi bukan hanya masalah hukum, melainkan krisis tata kelola yang menggerogoti legitimasi negara.
Ledakan Kekecewaan Rakyat
Kekecewaan itu akhirnya meledak pada demonstrasi besar Agustus 2025. Aksi massa yang awalnya dipicu oleh isu tunjangan perumahan DPR sebesar Rp 50 juta per bulan, berkembang menjadi gelombang protes menuntut reformasi menyeluruh. Tuntutan publik meliputi pengesahan Asset Confiscation Law, revisi kebijakan ketenagakerjaan, hingga pemulihan subsidi untuk rakyat kecil.
Tragedi meninggalnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas tertabrak aparat saat demonstrasi, menjadi simbol pilu. Kejadian ini mempercepat eskalasi kemarahan rakyat, membuat demonstrasi menjalar ke berbagai kota besar. Gedung-gedung DPRD dibakar, terjadi penjarahan, dan bentrokan antara aparat dengan masyarakat tak terhindarkan. Peristiwa ini menegaskan: kepercayaan publik terhadap pemerintah sedang berada di titik kritis.
Peran Abdimuda sebagai Garda Muda Antikorupsi di Tengah Krisis Kepercayaan
Dalam situasi seperti ini, peran ASN muda—Abdimuda—menjadi sangat strategis. Sebagai wajah baru birokrasi, Abdimuda tidak hanya menjalankan administrasi, tetapi juga membawa misi moral: memulihkan kepercayaan rakyat melalui integritas. Integritas ini diwujudkan dalam disiplin, kejujuran, transparansi, serta keberanian menolak gratifikasi. Langkah kecil sehari-hari—jujur dalam laporan, akuntabel dalam penggunaan anggaran, hingga terbuka pada pengawasan—adalah fondasi gerakan antikorupsi.
Seperti yang pernah ditegaskan Presiden Joko Widodo:
“Pencegahan korupsi harus menjadi budaya. Jangan hanya menunggu aparat penegak hukum. Aparatur negara harus berani mengatakan tidak pada korupsi dan gratifikasi.”
Pesan serupa disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraan Agustus 2025:
“Kita sadari korupsi masih menjadi tantangan keras negara kita. Tindakan korup banyak terjadi dari birokrat di semua lapisan—pemerintah pusat hingga daerah.”
Kedua pernyataan ini menjadi pengingat bahwa perang melawan korupsi tidak bisa ditunda lagi. Abdimuda ASN, dengan semangat muda dan idealisme, harus tampil sebagai garda terdepan dalam membangun budaya birokrasi yang bersih.
Membangun integritas memang tidak mudah. Godaan dan tekanan sering muncul. Namun jika setiap Abdimuda menjadikan integritas sebagai identitas, maka birokrasi kita akan lebih transparan, akuntabel, dan dipercaya publik.
Demonstrasi Agustus 2025 adalah alarm keras bagi semua pihak: rakyat menghendaki perubahan nyata, bukan sekadar retorika. Jawaban terbaik atas suara rakyat itu adalah menghadirkan birokrasi yang bebas dari korupsi—dan di sinilah Abdimuda harus berdiri tegak, menjadi teladan, sekaligus harapan baru Indonesia.
#aksaraAbdimuda